Lihat ke Halaman Asli

@mar.dov

Juru ketik

Menyongsong Guru Abad 21

Diperbarui: 15 Desember 2021   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri

Kalaulah dihitung, ada 1001 banyaknya pujian dan sanjungan akan tugas dan profesi seorang guru. Bahkan, dalam 1 tahun kita memiliki 1 hari spesial untuk mengenang dan mengapresiasi perjuangan guru. Namun ironinya, tak banyak yang ingin menjadi guru. Kalau anak murid saya, ada 2 alasan kenapa mereka tak terpikir hendak menjadi guru. Pertama, gaji guru kecil.  Kedua, ada pula yang merasa minder, kurang pintar, dan karenanya tidak pantas menjadi guru. 

Untuk perkara yang pertama, tidak dapatlah saya mendebatnya. Jika gagasan mereka tentang masa depan adalah untuk sekaya dan setenar Atta Halilintar, atau juga Ria Ricis, ya profesi guru bukanlah tandingannya. Pintek.id menyebutkan gaji guru untuk strata paling tinggi pun (golongan IVe) tak sampai 6 juta rupiah sebulan. Sementara untuk kasus guru honorer, jauh di bawah layak. Alterra melaporkan gaji mereka berkisar antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah sebulan.

Jika soal gaji tak dapat saya sanggah, namun untuk soal kepintaran, bisa didebat. Pintar bukanlah syarat mutlak menjadi guru. Karena jika kepintaran itu hanya bisa untuk diri sendiri, apalah guna. Yang terpenting yakni seorang guru haruslah pintar dalam mengajar. Mengajar tidak selalu berarti mentransfer ilmu, tapi juga mengajarkan nilai, keterampilan, sikap, dan karakter. 

Lance King, seorang pakar pendidikan dunia, berargumen bahwa peran guru yang tak kalah penting yakni mengajarkan siswa bagaimana cara belajar hingga sampai di satu titik di mana siswa tidak akan lagi membutuhkan guru sebagai pendampingnya. Siswa yang punya otonomi yang menjadi pemilik dari pembelajaran itu sendiri. Dalam jargon pendidikan terbaru kita mengenalnya juga dengan sebutan "murid merdeka".

KocoSchools dalam salah satu postingan Instagram menyebutkan empat kompetensi guru di abad 21. Kompetensi itu antara lain: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dari keempat kompetensi yang disebutkan soal wawasan dan pengetahuan guru hanyalah satu dari empat kriteria. Sementara ketiga kompetensi lainnya mensyaratkan kemampuan seorang guru untuk mengajar dan menginspirasi anak didiknya.

Sejalan dengan KocoSchools, Edutopia mengurutkan 15 karakter yang diperlukan guru mendatang. Pada intinya, guru masa depan diarahkan untuk menggagas dan merancang proses pembelajaran yang bermakna dan dekat dengan siswa. Pembelajaran di mendatang akan lebih banyak berpusat pada murid. Sehingga peran guru di kelas pun bergeser, yang tadinya center of learning menjadi curator of learning. Istilah terakhir ini pertama kali saya dengar dari Yong Zhao, seorang pakar pendidikan dalam Webinar "Propelling Education through Covid-19 World" yang diadakan University of Melbourne tahun 2020 lalu. 

dok.pri

Dengan pergeseran peran guru tersebut, bisa dimafhumkan kenapa di beberapa institusi sebutan guru mulai berganti ke sebutan yang lebih representatif, misal: fasilitator. Meski istilah fasilitator ini pun terkesan lebih remeh temeh ketimbang peran dan fungsi aslinya.  Dalam memfasilitasi pembelajaran siswa, misal, guru diharapkan untuk dapat menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan keunikan masing-masing anak.  Sebagai fasilitator juga, guru diharapkan mampu mengarahkan siswa dalam menggali pengetahuan dari sumber-sumber lain di luar yang tak terhingga banyaknya. Jelaslah bahwa sebagai 'fasilitator' atau kurator, tak berarti guru bisa goyang-goyang kaki di depan sementara menunggu siswa mengerjakan tugas-tugas mereka, bukan?

dok,.pri

  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline