Tarian caci merupakan salah satu kesenian tradisional sejenis tarian perang khas dari masyarakat Manggarai di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tarian caci bukan hanya dimaknai sebuah seni, tapi tarian caci juga merupakan identitas masyarakat Manggarai. Hal tersebut dikarenakan tarian caci adalah bagian dari budaya Manggarai yang secara turun menurun. Tarian caci tidak muncul begitu saja dan menjadi bagian dari identitas dan kebudayaan Manggarai, melainkan caci memiliki sejarah dalam perkembangannya.
Menurut sejarah, tarian caci ini berawal dari sebuah tradisi masyarakat Manggarai dimana para laki-laki akan saling bertarung satu lawan satu untuk menguji keberanian dan juga ketangkasan mereka dalam bertarung. Tarian ini kemudian berkembang menjadi kesenian dimana ada gerakan tari, lagu, dan juga musik pengiring dalam memeriahkan acara. Nama Tari Caci ini sendiri berasal dari kata ca yang berarti satu dan kata ci yang berarti uji. Sehingga caci ini dapat diartikan sebagai uji ketangkasan denan cara satu lawan satu.
Tarian caci merupakan media bagi para laki-laki Manggarai untuk membuktikan kejantanan mereka. walaupun tarian ini mengandung unsur kekerasan didalamnya, kesenian ini memiliki pesan yang damai didalamnya seperti semangat sportivitas, saling menghormati, dan juga diselesaikan tanpa dendam diantara mereka.
Pemain dilengkapi dengan pecut ( larik ), perisai ( nggiling ), penangkis (koret), dan penutup kepala (panggal). para pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang berwarna putih dan sarung songke ( songket khas Manggarai). kain songke berwarna hitam dililitkan dipinggang hingga selutu untuk menutupsebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain. topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni. hiasan kepala berbentuk tanduk kerbau ini dipakai unruk melindungi wajah dari para pemain. wajah di tutupi oleh kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan lawan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang tebuka adalah sasaran cambuk. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas. Tarian ini dimainkan saat syukuran musim panen ( hang woja ) dan ritual tahun baru (penti), upacara pembuka lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H