Lihat ke Halaman Asli

“Ketika Hukuman Mati Menjadi Solusi, Apa Benar Memberi Solusi?”

Diperbarui: 14 Oktober 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

latepost

Selayang Pandang Hukuman Mati

Ketika hukuman mati dipertaruhkan, tapi digunakan hanya agar dendam terbalaskan. Ketika kekejian dipertontonkan untuk kematian orang agar setimpal dan semua terpuaskan. Ketika pengampunan tak lagi diperhitungkan agar impas dan jera tanpa belas kasihan.

Benarkah dua tahap eksekusi hukuman mati yang sudah sejalan dengan kedaulatan negara yang diserukan sebagai pembelaan? Masyarakat seolah satu suara mendukung keputusan pemimpin negara kita. Media menyerukan keputusan ini yang benar dan harus dilaksanakan. Jeritan para pejuang kemanusiaan seolah lenyap, tertelan dengan dalil keputusan negara yang tidak boleh diintervensi. Pembunuhan dilegalkan demi kedaulatan dan penegakan hukum guna memusnahkan kejahatan narkoba.

Tulisan ini bukan ingin menganggap para terpidana narkoba martir apalagi pahlawan. Tulisan ini juga bukan sepenuhnya mengatakan penolakan grasi tersebut salah dan tidak berperikemanusiaan.
Perbincangan hukuman mati memang tidak akan ada ujungnya jika dijadikan pembahasan. Bentuk hukuman ini sarat kontroversi. Semua yang pro akan menjunjung tinggi bahwa solusi memerangi narkoba adalah dengan penjatuhan hukuman mati. Yang kontra akan berteriak tentang sisi kemanusiaan. Yang pro membalas lagi bahwasanya kedaulatan negara kita tak bisa didikte oleh asing, keputusan negara harus dihargai, korban mati karena narkoba meningkat setiap tahunnya, bandar narkoba harus ‘dibasmi’ serta runutan alasan lainnya yang berujung pada penjatuhan hukuman mati adalah solusi yang paling tepat. Opini masyarakat hampir bulat satu suara yakni menyetujui hukuman mati.

Eksekusi hukuman mati tahap ketiga di negeri ini akan berjalan. Setiap proses yang sudah berlalu di evaluasi. Berbagai pertimbangan dan masukan tentunya sudah dipikirkan para penegak hukum kita. Melihat reaksi negara-negara seluruh dunia yang begitu bergejolak, memohon kepada pemimpin negara kita agar menghentikan eksekusi mati kepada para warga negaranya. Brasil dan Belanda menarik duta besarnya dari Indonesia, Perdana Menteri Australia Tony Abbot menyurati Presiden Joko Widodo agar menunda eksekusi mati walaupun berakhir gagal. Kedua WN Australia dalam kasus Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dihukum mati. Tidak hanya itu, wakil Presiden Komisi Eropa Federica Mogherini juga turut menyesalkan eksekusi mati di Indonesia. Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Withschel meminta Indonesia menghentikan eksekusi karena menilai langkah itu tidak efektif dalam menurunkan kejahatan narkotik. Negara-negara berusaha menyelamatkan warga negaranya, melakukan segala cara, dari membujuk Presiden, mengingat kembali bantuan sosial, barter tahanan, Lalu apa keputusan Presiden? Keputusan untuk tetap dihukum mati tidak dapat diganggu gugat. Salah satu terpidana dr Filipina, Mary Jane Veloso, mendapat penundaan karena diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan narkoba miliknya adalah hasil penyelundupan sehingga kasusnya harus diungkap terlebih dahulu.

Lihat reaksi dunia sedemikian besarnya terhadap Indonesia, benarkah keputusan ini sungguh memberi efek jera. Pandangan keji seolah sekarang lekat dengan negara kita, lantas apa yang harus kita lakukan? Negara kita menjadi sorotan di saat beberapa negara sudah menghapus hukuman mati di negaranya. Namun, 55 negara lain, menurut Laporan Amnesty International, termasuk Indonesia masih menerapkannya. Hal ini juga akan berdampak pada ratusan WNI yang terancam hukuman mati akibat kasus narkotika, kejahatan menghilangkan nyawa, atau lainnya.

Hukuman mati itu sendiri sudah ada sejak abad ke-18 SM sejak zaman Raja Hammurabi dari Babilonia, ketika Raja membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal. Pada abad ke 16 SM di Mesir, juga tercatat bahwa Mesir memberlakukan hukuman mati itu kepada bangsawan yang dituduh melakukan kegiatan perdukunan. Hukuman mati zaman dahulu kerap menjadi tontonan bagi masyarakat dan dirayakan dengan pesta pora. Bagaimana sejarahnya hukuman itu muncul, bagi penulis hukuman mati yang diberlakukan tidak memiliki pengaruh pada menurunnya angka kejahatan.

 

Hak Hidup Tidak Dapat Dibatasi dalam Hal Apapun Juga
Konstitusi negara Indonesia, UUD 1945 menegaskan bahwa hak hidup harus dijunjung tinggi. Dalam  Pasal 28 A UUD 1945, “Setiap orang berhak atas hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Hak hidup merupakan hak dasar tertinggi manusia.

Hak hidup juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang No 12 tahun 2005, Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU No 5 tahun 1998. Baik aturan nasional maupun internasional, semuanya kerap menegaskan bahwa hak hidup manusia tidak boleh dirampas atau dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Hukuman mati juga bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline