Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Transplantasi Organ Penyebab Kanker?

Diperbarui: 17 September 2017   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

hallosehat

Transplantasi adalah tindakan mencangkokkan jaringan dari satu tempat ke tempat lain. Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yaitu kata transplantation, to transplant yang merupakan to take up and plant to another, artinya mengambil dan menanamkan kembali. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 1 ayat (5), transplantasi mempunyai arti rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. 

Sedangkan organ adalah kumpulan dari banyak jaringan yang memiliki fungsi atau kinerja yang sama. Maka dapat disimpulkan bahwa transplantasi organ adalah suatu tindakan medis yang melakukan pemindahan atau pencangkokan seluruh atau sebagian organ tubuh dari suatu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu bagian ke bagian tubuh yang lain dalam tubuh yang sama. Tujuan utama transplantasi organ adalah menggantikan organ tubuh yang sudah tidak berfungsi dengan baik lagi atau bahkan sudah tidak berfungsi total. 

Organ dapat didonorkan dari orang yang masih hidup, tetapi organ juga bisa diambil dari orang yang sudah meninggal. Transplantasi adalah hal yang tidak mudah dilakukan oleh para tim medis, dianggap menantang, rumit, dan kompleks. Hal tersebut dikarenakan proses transplantasi sangat berkaitan dengan kecocokan organ yang akan ditransplantasikan pada tubuh penerima donor dan ada atau tidaknya reaksi penolakan organ baru dari tubuh penerima donor. Maka dari itu, resiko terbesar dari proses transplantasi adalah kegagalan yang menyebabkan kematian.

Transplantasi dibagi menjadi empat, yaitu tansplantasi autologus, transplantasi alogenik, transplantasi singenik, dan transplantasi xenografi. Transplantasi autologus yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri, yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi. Sedangkan transplantasi alogenik yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya, baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga. 

Untuk transplantasi singenik yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik, misalnya pada kembar identik. Yang terakhir adalah transplantasi xenografi yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya; transplantasi jenis ini adalah yang paling jarang dilakukan dalam tidakan medis.

Transplantasi organ bukanlah tindakan medis yang baru ada pada zaman modern, tetapi tindakan medis ini telah dinyatakan tercatat sejak abad kedua sesudah Masehi. Pada abad ke-16 dahulu ada seorang tabib atau dokter dapat mencangkokkan kaki orang hitam ke kaki orang putih yang sakit diabetes melitus hingga kakinya borok. Lalu pada tahun 1837 juga telah dilakukan transplantasi kornea allograft untuk pertama kalinya. Disusul oleh Eduard Zirm pada tahun 1905, ia berhasil mentransplantasikan kornea menggunakan teknik operasi keratoplastic. 

Eksperimen untuk transplantasi yang paling penting telah dilakukan pada awal abad ke-20 oleh Alexis Carrel, orang Perancis yang merupakan seorang ahli bedah. Alexis Carrel bereksperimen tentang transplantasi arteri dan vena, hingga akhirnya ia mendapatkan penghargaan nobel pada tahun 1912. Transplantasi yang viral pada waktu itu dan dinyatakan berhasil di dunia adalah transplantasi penis pada manusia yang telah ditransplantasikan pada bulan Desember tahun 2014. Dinyatakan berhasil karena penis hasil transplantasi tersebut dapat berfungsi 4 bulan kemudian, dalam arti tidak ada penolakan dari tubuh dan yang terpenting adalah dapat berfungsi normal untuk sistem ekskresi juga secara seksual.

Di zaman modern seperti sekarang ini, transplantasi organ adalah hal yang marak pada bidang medikal. Saat ini di Indonesia, telah dilakukan transplantasi seperti yang telah dilakukan di negara-negara maju. Organ tubuh yang dapat didonorkan adalah hati, jantung, paru-paru, pankreas, organ pencernaan, timus, dan kulit. 

Sedangkan untuk jaringan tubuh yang dapat didonorkan adalah kornea mata, katup jantung, vena, mukuloskeletal, tulang-tulang, sumsum tulang, dan tendon. Tetapi transplantasi organ yang paling sering dilakukan adalah transplantasi ginjal, diikuti dengan hati dan jantung. Untuk organ yang paling jarang ditransplantasikan adalah usus. Sedangkan jaringan yang paling sering ditransplantasikan adalah kornea mata dan mukuloskeletal, di mana jumlahnya sepuluh kali lipat jika dibandingan dengan transplantasi organ.

Jika transplantasi organ dipelajari secara lebih lanjut, kita dapat mengetahui apa saja efek positif dan negatif yang akan didapat dari tindakan medis tersebut. Meski transplantasi organ dianggap orang-orang di luar sana merupakan suatu kesuksesan terbesar dalam bidang medis dan meski dibantu pula dengan berbagai macam alat dan teknologi canggih, bukan berarti tindakan transplantasi organ ini tidak mengakibatkan banyak resiko walaupun orang yang menerima organ juga telah menerima transplantasi organ yang memiliki kesamaan stereotipe. Setelah tindakan transplantasi organ dilakukan, ada kemungkinan terjadinya efek samping dari proses pengobatan. 

Hal ini disebabkan karena tubuh orang yang menerima donor organ belum terbiasa dengan organ yang baru. Ada efek samping yang lebih menjuru kepada kesehatan tetapi juga ada efek samping yang lebih menekan pada kesehatan mental atau sifat bawaan dari penerima donor. Menurut pengamatan orang-orang sekitar, seseorang yang menerima donor organ dari orang lain, lambat laun sifatnya akan berubah seperti orang yang memberikan donor organ kepada dirinya; hal ini belum dapat dibuktikan kebenarannya. 

Sedangkan untuk mengatasi efek samping pasca transplantasi, maka dari itu penerima donor harus mengonsumsi obat yang menekan sistem kekebalan tubuh setelah proses transplantasi dilakukan, yaitu obat imunosupresan. Obat ini dapat mempercepat penyesuaian organ baru dengan tubuh, tetapi juga dapat berpotensi untuk mengakibatkan kerusakan ginjal, komplikasi, mengakibatkan berbagai macam infeksi, permasalahan pada pembuluh arteri, penyumbatan darah, permasalahan saluran buang air, dan yang terparah adalah kanker.

Dengan mengonsumsi obat imunosupresan tersebut, sistem kekebalan tubuh akan menurun sehingga meningkatkan potensi munculnya infeksi, penyakit jantung, leukimia, dan penyakit kanker. Kanker yang paling berkembang setelah proses transplantasi adalah kanker bibir, kanker kulit, dan kanker limfoma non-Hodgkin. Kanker limfoma tersebut memiliki potensi dua ratus kali lipat daripada kanker lainnya. Kanker limfoma adalah kanker yang muncul dalam sistem limfatik yang menghubungkan kelenjar limfe atau kelenjar getah bening di seluruh tubuh. Limfoma terjadi karena adanya perubahan atau mutasi pada DNA sel-sel limfosit sehingga pertumbuhannya menjadi tidak terkendali. 

Di dalam sistem limfatik, terdapat sel-sel darah putih (leukosit) yang berguna untuk memerangi infeksi. Maka, jika sel darah putih diserang oleh kanker, tubuh tidak memiliki sarana untuk bertahan dari infeksi. Menurut penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penderita kanker limfoma non-Hodgkin telah meningkat sebesar lebih dar tujuh kali lipat daripada sebelumnya. 

Gejala yang akan dirasakan jika menderita kanker limfoma non-Hodgkin adalah mudah merasa lelah, berkeringat pada malam hari, demam, menggigil, mudah mengalami infeksi, menjadi sering batuk-batuk, rasa gatal di tubuh yang berkelanjutan, tidak nafsu makan, penurunan berat badan tanpa sebab, pembengkakan pada perut, gangguan pernafasan, sakit dada, dan masih banyak lainnya. Proses penyembuhan kanker limfoma tersebut juga lebih merugikan karena pasti membuang biaya lebih banyak dan dapat menimbulkan penyakit lainnya, contohnya adalah diabetes, serangan jantung, bahkan katarak.

Permasalahan lain berkaitan dengan obat imunosupresan adalah kanker yang berhubungan dengan virus. Sebagai contoh, penyakit non-Hodgkin dan Hodgkin limfoma berkaitan dengan virus Epstein-Barr. Dr. Daniel Weschler adalah profesor hematologi dan onkologi pediatrik di Duke University. Dia turut menulis sebuah editorial yang menyertai penelitian ini, yang diterbitkan dalam terbitan Mei Pediatrics. Menurut Dr. Daniel Weschler, virus Epstein-Barr dapat menyebabkan mononucleosis, dan sekitar 70 sampai 80 persen populasi telah terpapar di beberapa titik. 

Hal ini juga terkait dengan limfoma non-Hodgkin dan limfoma Hodgkin, serta tumor lainnya juga. Mengonsumsi obat imunosupresan dapat mengakibatkan tubuh tidak dapat melawan virus yang datang, sehinggal tubuh dapat terserang banyak virus dan mengalami penyakit-penyakit mulai dari yang tergolong ringan hingga yang tergolong berat.

Terdapat pula obat Cellcept, salah satu obat yang paling umum digunakan, dapat menyebabkan gejala gastrointestinal dan serangan infeksi. Lainnya adalah tacrolimus, yang dapat memperburuk gejala diabetes dan fungsi ginjal, penyebab penyempitan pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah, dan pada kadar tinggi juga menyebabkan tremor.

Dr. Eric Engels, peneliti senior bagian infeksi dan epidemiologi dari Divisi Epidemiologi Kanker dan Genetika di US National Cancer Institute di Rockville, dan timnya mengkaji data sebanyak hampir sebanyak 176.000 transplantasi organ padat yang dilakukan pada tahun 1987 hingga 2008 di AS. Para peneliti menemukan bahwa angka kejadian keseluruhan kanker 2,1 kali lebih tinggi dari yang diharapkan dalam populasi non-transplantasi.

Terduga pula banyaknya penderita kanker ginjal yang meningkat sekitar lima kali lipat pada penerima transplantasi organ. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya ketidakcocokan organ yang diterima oleh penerima donor atau bisa juga diakibatkan oleh banyaknya obat-obatan yang dikonsumsi oleh penerima donor saat pasca transplantasi, terutama obat imunosupresan. Tak hanya itu, tetapi pembuluh arteri menebal dan mengeras juga merupakan salah satu risiko setelah melakukan transplantasi organ. Ini bisa membuat sirkulasi darah di jantung tidak lancar dan bisa memicu seseorang terkena serangan jantung, gagal jantung, atau gangguan ritme jantung.

Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Dr Christina Lee Chung, seorang profesor dermatologi di Drexel University di Philadelphia dan rekan-rekannya, telah dilakukan kepada peserta transplantasi baik yang berkulit hitam ataupun putih.

Para peneliti mengaku peningkatan angka kanker kulit pada resipien operasi transplantasi dikarenakan adanya efek dari obat yang digunakan untuk meminimalisir penolakan organ baru. Kanker kulit dapat lebih berkembang pada orang-orang yang berkulit hitam. Kebanyakan pasien dari Asia yang terkena kanker kulit akibat transplantasi organ berada di daerah yang terekspos sinar matahari.

Tetapi, tidak selamanya kita dapat menyimpulkan bahwa kanker pasca transplantasi disebabkan oleh imunosupresan. Tidak menutup kemungkinan bahwa telah ada sel kanker yang tumbuh pada tubuh penerima donor sebelum melakukan transplantasi karena memang pola hidup yang kurang baik dan kehidupan tidak sehat si penerima donor.

Maka untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat mengakibatkan kerusakan organ-organ yang nantinya juga akan membawa kepada penyakit-penyakit yang lebih lanjut, kita semua harus mengembangkan pola hidup yang baik dan sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline