Pada tahun 2004, Husam Izzat dan Rania Inayat memiliki masalah dibagian administrasi paspor yang tidak bisa keluar karena beragama Baha'i. Hosam dan Rania pun merasa hak konstitusional mereka dilanggar. Oleh karena itu mereka membawa kasus tersebut ke Court of Administrative Justice untuk CSD (Civil Status Department) dan menteri dalam negeri supaya memberikan kartu identitas mereka dan akta kelahiran ketiga anak mereka yang menyebutkan bhawa Baha'i merupakan agama mereka. Karena Putusan tersebut mengacu pada putusan Supreme Administrative Court (SAC) tentang kasus yang sama, Pada tanggal 4 April 2006, Administrative Court (Pengadilan Tata Usaha) mengabulkan permohonan Hosam dan Rania dan meminta CSD untuk mengembalikan dokumen yang mereka minta dengan pertimbangan bahwa:
"Tidak bertentangan dengan ajaran Islam untuk menyebutkan agama dalam kartu (identitas) ini walaupun secara terbuka agama tersebut tidak diakui pelaksanaannya, misalnya Baha'i dan sebagainya...."
Pada Desember 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Penghayat Kepercayaan dapat dicantumkan di bagian kolom agama KTP negara Mesir, akan tetapi kolom agama di KTP mesir tersebut menuai kontroversi yang cukup panjang . Selain agama Islam, pemerintah Mesir hanya mengakui dua agama lainnya yaitu, Yahudi dan Kristen (Katolik & Protestan) karena dinggap tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Meskipun hanya tiga agama tersebut yang diakui ole pemerintah Mesir, ada kepercayaan lain dimesir yang menuai kontroversi cukup pajang salah satunya kepercayaan Baha'i, yang penganutnya telah ada di kurang lebih selama satu Abad dinegara mesir. Di Sana Para penganut Baha'i sering kali diperlakukan secara diskriminatif dari pemerintah karena dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Dari peristiwa singkat diatas, dapat kita analisis menggunakan dua kombinasi dimensi yaitu Dimensi Hofstede, dan dimensi Kluckhohn dan Strodbeck.
Pertama, dimensi Hofstede yang terbagi dalam beberapa kalsifikasi beberapa diantaranya yaitu orientasi kelompok (Kolektivisme) yang terkait dengan peritiwa yang menimpa Husam dan Rania. Dikatakan berkelompok karena peristiwa itu terjadi tidak hanya pada satu orang melainkan pernah juga terjadi pada masyarakat mesir sebelumnya ketika putusan Supreme Administrative Court (SAC) tentang kasus yang sama seperti Husam dan Rania, artinya ada budaya kolektivitas yang terkait dengan lembaga masyarakat sehingga kasusnya berkepanjangan. Kasus yang berkepanjangan tersebut dapat pula masuk dalam Klasifikasi Hofstede yaitu orientasi Jangka panjang.
Kedua, dimensi Kluckhohn dan Strodtbeck yang terdapat orientasi dari masa lalu, kini dan masa depan. Dalam peristiwa diatas, agama Baha'i yang sudah ada sejak lalu, dibawa pada masa kini hingga banyak masyarakat mesir yang memakai agama tersebut dalam kartu identitas dan paspor, karena Mesir hanya mengakui 3 agama resmi yaitu Islam, Kristen (katolikProtestan), dan Yahudi maka agama Baha'i pun menimbulkan berbagai pertimbangan dan kontroversi dikemudian hari.
Jika kita analisis lebih dalam, peristiwa yang terjadi pada Husam dan Rania maupun masyarakat sebelumnya yang pernah mengalami kasus yang sama, terdapat Low Context Culture dimana komunikasi yang terbatas untuk melaporkan masalah paspor yang tidak bisa keluar karena beragama Baha'i sehingga masalah tersebut berlangsung lama hingga bertahun-taun. Meskipun komunikasi relatif sedikit akan tetapi keluhan mereka didengar oleh Pengadilan tata usaha Mesir dan permintaan mereka untuk minta kembali kartu identitas dan sebagianya dikabulkan.
@Kab07
#KAB07
Daftar Pustaka
Saputra. A. (2017). "Melihat Kontroversi Di Kolom Agama KTP Mesir".