Lihat ke Halaman Asli

Maria Nurani

Sustainability professional dan pengurus beberapa organisasi di bidang sustainability, smart city, sosial dan penanggulangan bencana. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di bidang kajian stratejik dan global di Universitas Indonesia, dengan fokus riset mengenai corporate sustainability transformational change

Menari (Jawa) itu Laku Batin?

Diperbarui: 24 Januari 2023   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Menari itu laku batin. Menari adalah manembah. Suwung nanging isi"

"Sing temen, sing nemu. Yang bersungguh-sungguh akan menemukan. Ngelmu iku. Ilmu akan didapat bila dilakukan"

***

Kalimat itu diucapkan Bpk Sulistyo S. Tirtokusumo, seorang Maestro Tarian Jawa yang menjadi juri Pentas Tari Publik Minggu sore (11/12) di Auditorium Perpusnas, Jakarta. Sekar Tanjung Dance Company (SKDC) mementaskan 7 tarian dengan total 64 penari. Tarianku adalah Retno Pamudyo (RP), tentang Srikandi yang berperang melawan Bisma.

Walaupun Pak Sulis bilang tidak bisa dijelaskan, tapi aku jadi pengen cerita sesuatu.

Laku batin sudah menarik perhatianku sejak SMA. Perjalanan pada akhirnya membawaku pada pranic healing (PH). Dengan ilmu tentang teknologi spiritual ini aku jadi bisa tau ukuran dan kualitas aura dan cakra seseorang beserta segala energi positif dan negatif di dalamnya. Juga aktivitas yang menyebabkannya membesar dan mengecil. Buat apa ngilmu ginian? Biar bisa bantu meningkatkan kesehatan fisik, psikis, finansial dan spiritualitas seseorang. Dengan penyertaan Yang Maha Kuasa tentunya ya. Yang aku akan ceritakan di sini adalah berdasarkan pengetahuan dan praktik PH-ku selama 4 tahun belakangan ini.

Kita mengenal istilah "lahir & batin". Lahir adalah tubuh, dan batin adalah segala hal dari kita yang tak terlihat. Sesungguhnya yg tak terlihat itu terdiri dari aura yang berlapis-lapis, mulai dari aura eterik yang paling dekat dengan tubuh fisik, lalu aura emosi (astral), aura mental, dan yang paling luar aura jiwa. Jadi gambaran tentang kita yang lebih tepat sebetulnya bukan kita adalah tubuh yang memiliki jiwa, tetapi "kita adalah jiwa yang terdiri dari aura mental, aura emosi, aura eterik, dan tubuh fisik".

Setiap jiwa yang turun ke bumi memiliki tugas masing-masing yang unik. Bukan sekedar tugas belajar, bekerja, berkeluarga, lalu mati. Tubuh fisik, emosi dan pikiran diperlukan jiwa untuk menjalankan tugas dan berkembang. Tetapi tubuh fisik yang terlalu sibuk memoles diri, tubuh emosi yang sibuk bersuka dan berduka, tubuh mental yang sibuk berpikir yang bukan-bukan, membuat sang jiwa tidak bisa terkoneksi dengan Yang Maha Kuasa, meskipun segala ritual agama dijalankannya. Lalu dia tersesat hingga menjelang batas waktu di dunia, baru teringat lagi akan tugas yg belum rampung.

Manusia perlu memiliki saat untuk suwung -- kosong dari segala energi, emosi, dan pikiran negatif. Hanya pada saat itulah, sang jiwa bisa terkoneksi dengan Yang Maha Kuasa untuk mendengar Sabda dan menerima hikmah-Nya sehingga jiwa dan segala lapisan aura menjadi terisi. Inilah saat terjadinya "suwung nanging isi". Ini hanya bisa terjadi bila kita punya sikap manembah -- menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Salah satu cara utk suwung adalah dengan fokus pada sesuatu. Meditasi. Saat melihat dan mengikuti gerakan tari guru di studio (sambil nyontek temen di depan), sesungguhnya kita juga sedang bermeditasi. Meditasi dalam gerak, Vipassana. Untuk meditasi di level aura emosi, fokuslah pada rasa bahagia atau rasa positif lain yang muncul saat berlatih. Untuk di level aura mental, hapalkan tarian! Hehehe

Hanya setelah melakukan itu, disertai rela, ikhlas dan pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa, kita akan suwung dan siap terisi,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline