Sesungguhnya kita semua telah manunggal dengan Tuhan. Bila kita tidak manunggal, kita tidak bisa hidup. Bukankah Tuhan lebih dekat dari urat lehermu?
Dari buku Bhagavad Gita by Anand Krishna :
" Mereka yang berkeyakinan penuh dan senantiasa menyadari kemanunggalannya dengan-Ku, memuja-Ku dengan pikirannya terpusatkan pada-Ku, adalah para Yogi utama, demikian anggpan-Ku."
Yang dimaksudkan dengan 'kemanunggalan' adalah keadaan pikiran atau state of mind. Bukan manunggal dengan Tuhan kemudian hilang atau memiliki kemampuan yang sebagaimana digambarkan di film-film layar kaca. Sama sekali tidak berkaitan dengan kemampuan supranatural. Bisa terbang, bisa melihat pikiran orang atau meramalkan masa depan, dan lain sebagainya.
Mereka yang senantiasa menyadari kemanunggalan-Nya dengan Hyang Maha Tunggal sadar sepenuhnya bahwa setiap orang berasal dari percikan yang sama. Percikan Tuhan bermanifestasi sebagaimana keinginan-Nya. Tidak seorang pun bisa mengatur Tuhan.
Dengan menyadari kemanunggal-Nya, orang tersebut selalu berupaya menyebarkan kesadaran yang telah dimilikinya kepada orang lain atau sesama manusia. Baginya, semakin banyak orang bisa menyadari bahwa dalam diri orang atau makhluk lain, maka ia tidak akan bisa menyombongkan dirinya paling hebat atau istimewa.
Para suci jaman dulu berkata beda antara dirinya dengan orang biasa/awam: ' Aku sudah bangun/sadar, kalian belum menyadari bahwa kita semua dalam kemanunggalan, sedangkan kalian masih tertidur lelap'
Ya, ketika para suci mengatakan demikian, sesungguhnya yang menyampaikan adalah Dia juga melalui sarana mulut dan suara mereka yang sudah bersih dan jernih hatinya. Bersih dari segala kotoran emosi tentang nafsu duniawi. Bagaikan seorang peniup seruling. Bila serulingnya belum baik, maka suara yang dikeluarkan oleh seruling juga tidak indah. Inilah sebabnya, segala sesuatu yang disampaikan oleh para suci senantiasa selaras dengan sifat alam semesta; kasih dan kasih. Bukankah sifat alam juga memorei dan memberi, kasih dan kasih?
Bukanlah monopoli para suci atau nabi, tetapi adalah kodrat kita semua untuk menjadi sadar akan kesejatian diri kita. Ibarat telor dari seekor elang yang jatuh kemudian dierami oleh ayam. Si anak elang merasa bahwa dirinya adalah anak ayam. Segala perilaku dan kebiasaan anak ayam diikutinya, karena lingkungannya juga keluarga ayam. Ketika suatu saat seekor elang dewasa datang untuk mengingatkan bahwa kesejatian si anak elang adalah keperkasaan elang, si anak elang bari tersadarkan. Demikian juga kita semua telah dientuk oleh lingkungan sebagai orang yang menganggap bahwa kiaa dan para suci berbeda. Ini semua penyakit kita; penyakit ketidaktahuan akan kesejatian diri kita.
Tujuan utama kedatangan atau kehadiran para suci semata untuk membangunkan kita dari tertidur lelap di alam mimpi, mimpi akan keyamanan dunia benda. Sayangnya, hanya sedikit yang menyadari akan hal ini. Mayoritas nyaman dengan mimpi indahnya. Kita tenggelam di alam ilusi kenyamanan duniawi. Tenggelam di alam benda yang sesungguhnya hanyalah arena birmani atau kunjungan sesaat. Ibarat kita berwisata kemudian menginap di hotel yang nyaman.
Saat kita harus pulang dari berwisata, tidak satu pun benda milik hotel yang boleh dibawa pulang. Bukankah saat kita harus pulang ke alam asal kita juga tidak satupun benda yang kita pikir milik kita dibawa?
Semua harus ditinggalkan, keinginan atau obsesi tentang kenyamanan hotel tempat wisata bisa menarik kita untuk kembali berkunjung ke tempat wisata tersebut. Demikian juga, obsesi dan keterikatan terhadap kenyamanan indrawi bisa menarik kita untuk lahir kembali.