Memahami yang disebut kebenaran amat tidak mudah. Karena Pada umumnya kebenaran yang selama ini diketahui oleh masyarakat hanya berdasarkan fakta yang dilihat dan didengarkan. Sama sekali tidak sesuai dengan makna kebenaran yang dimaksudkan oleh leluhur kita.
Dari buku warisan leluhur nusantara, Kitab Sara-Samuccaya by Anand Krishna sebagai berikut:
" Sesungguhnya, menuturkan fakta saja bukanlah Kebenaran. Dan, penuturan non-fakta saja bukanlah kebohongan atau dusta. Segala sesuatu yang baik bagi sesama makhluk adalah Kebenaran, sisanya adalah kepalsuan"
Mungkin ada yang mempertanyakan, 'Mengapa mengacu definisi Kebenaran yang diwariskan leluhur kita?'
Bagi pemahaman saya,
"Yang disampaikan oleh para leluhur kita merupakan yang paling tepat. Karena Kebenaran yang dimaksudkan oleh mereka jelas sekali, yaitu '....... yang baik bagi sesama makhluk' Yang disampaikan oleh luluhur kita berlandaskan DHARMA, yang bermanfaat bagi sesama makhluk hidup atau khlayak umum.
Dengan kata lain, kebenaran yang diwariskan oleh leluhur kita menitik beratkan bagi kepentingan orang banyak, bukan hanya berdasarkan fakta yang mungkin sangat dipengaruhi oleh pendapat pribadi yang dilandasi oleh cara pandang dangkal; demi kepentingan golongan, serta kelompok sendiri. Singkat kata; demi kepentingan pribadi, sama sekali tidak mempertimbangkan 'Kebaikan' bagi sesama makhluk hidup lainnya.
Ada suatu kisah menarik yang membuat saya bisa memahami cara pikir leluhur kita.
"Dikisahkan seorang pangeran dari suatu kerajaan memiliki karakter baik. Namun karena yang dilakukan olehnya tidak disenangi oleh kelompok kerajaan yang merupakan golongan mayoritas, akhirnya sang pangeran diburu akan dibunuh.
Ia melarikan diri, kemudian ditampung pada suatu perguruan yang dimiliki oleh seorang resi yang bijak. Singkat cerita, sang pangeran berguru untuk mencari kebenaran.
Pada suatu ketika para pemburu atau prajurit mendengar kabar angin bahwa Sang Pangerna buruan berada di perguruan atau padepokan tersebut.
Karena sudah lama berguru di padepokan tersebut, wajah dan penampilannya sudah berubah. Sang Guru yang merupakan ketua padepokan ditanyai oleh prajurit pemburu, dan ketika ditanyakan seseorang yang ciri-cirinya memang tepat seperti murid yang diterimanya beberap waktu lalu, ia menjawab bahwa orang tersebut tidak ada di perguruannya."
Faktanya si pangeran memang ada di perguruannya, tetapi ketua menjawab tidak ada. Ia bicara bohong, tetapi ia menggunakan pikiran kritisnya. Ia menggunakan pertimbangan berdasarkan pengamatannya selama sang pangeran berada di padepaokannya, terbukti bahwa perilaku pangeran baik dan memenuhi kriteria yang mungkin bisa memberikan manfaat bagi orang banyak di masa akan datang. Sang Guru menggunakan critical thinking, pikiran kritis yang menimbang bahwa bahwa walaupun ia berbohong terhadap para prajurit, ia sadar bahwa perilaku yang memerintahkan atau atsa para prajurit adalah pihak yang hanya mementingkan diri sendiri, hanya untuk memenuhi nafsu berkuasa.
Cara pikir atau pertimbangan seperti ini yang harus dimiliki para bijak atau pemimpin yang semestinya. Memiliki pikiran kritis. Kita masih ingat bahwa saat menggunakan pikiran kritis, kita menggunakan Neocortex; satu-satunya perangkat keras yang hanya dimiliki oleh manusia. Dengan menggunakan neocortex, kita menggunakan alat yang hanya diberikan kepada manusia oleh Sang Keberadaan atau Tuhan. Inilah yang disebut manusia sesungguhnya, memahami nilai kemanusiaan. Bukan hanya mengikuti fakta, namun tidak memberikan manfaat bagi sesama makhluk hidup.
Bila jawaban yang diberikan kepada prajurit yang berada di pihak yang memerintah berdasarkan nafsu kekuasaan, sang resi berbuat hal yang akan merugikan sesama makhluk hidup. Jelas sang resi menjawab berdasarkan fakta tanpa menggunakan otak yang diberikan oleh Tuhan. Dengan kata lain, pemimpin pedepokan tersebut masih menggunakan otak reptil. Perangkat otak yang tahu lari atau lawan; flight or fight. Otak yang berlandaskan perasaan takut/fear based.