Melakoni spiritual ataupun hidup keberagamaan, tujuan hidup memiliki agama sebagai laku, adalah untuk mensejahterakan kehidupan manusia.
Dalam Serat Niti Sastra yang diulas secara mendalam oleh Anand Krishna yang sangat kontekstual menunjang laku hidup sehari-hari dalam buku yang berjudul : ANCIENT WISDOM FOR MODERN LEADERS ( Kebijaksanaan Klasik Bagi Manusia Indonesia Baru) terdap[at ayat yang berbunyi :
Agama mengajarkan kerelaan untuk berkorban demi kebaikan dan keselamatan banyak orang; Ilmu pengetahuan meneguhkan hati, supaya tidak terombang-ambing.
Harta benda hendaknya tidak sekadar membahagiakan, tetapi memuliakan, sebagaimana seorang anak tidak hanya menyenangkan, tetapi mengharumkan nama orangtua.
Agama adalah jalan, dan bila kita lakukan dalam keseharian dengan cara melakoni hidup keberagamaan pada ujungnya akan menuju kepada Dia Sang Maha Sumber Agung dan Mulia. Bagaikan seorang menggali sumur, tembuslah sampai mencapai sumbernya. Bila hidup hanya menjalani permukaan atau kulit, ritual yang hanya berkaitan dengan tubuh, maka tidak akan mencapai sumber.
Meditasi atau spiritual bukan hanya duduk diam, namun harus menjadi laku dalam kehidupan sehari-hari. Hidup secara sadar dan peka terhadap keadaan lingkungan.
Pada ayat dia atas merupakan antisari hidup keberagamaan : RELA BERKORBAN DEMI KEBAIKAN, DAN KESELAMATAN BANYAK ORANG. Sesungguhnya bila kita mau merenungkan lebih dalam lagi, kerelaan berkorban ini bukan hanya untuk kebaikan banyak orang, bila kita hanya memaknai secara dangkal, akhirnya akan muncul kebanggaan ego, ini tidak tepat.
Namun bila kita memaknai dari segi kesehatan yang memberikan manfaat bagi diri sendiri, yang kita lakukan menjadi sesuatu kerelaan tanpa paksaan dan tidak menimbulkan ego. Nah, di sini dibutuhkan ilmu pengetahuan atau sains. Bila keduanya kita padukan akan saling bersinergi sehingga melakoni hidup keberagamaan atau laku spiritual tidak lagi menjadi beban, tetapi merupakan kebutuhan bagi Jiwa kita. Karena Kesehatan mental atau perkembangan jiwa sangat berhubungan erat. Sehat mental akan berdampak bagi Kesehatan fisik. Tidak ada Kesehatan mental tanpa diiringi Kesehatan fisik/tubuh.
Kita ambil contoh tentang bencana banjir atau longsor. Dari sudut pandang pengetahuan jelas sekali bahwa pohon-pohon di hutan dibutuhkan untuk menahan tanah agar tidak longsor serta sumber air. Namun apa yang terjadi ketika pohon-pohon tersebut ditebang demi kenyamanan untuk membuat tisue yang hanya bertujuan untuk kenyamanan atau kemudahan hidup kita? Bukan kah di sini semestinya kita tetap menggunakan kain sebagai bahan yang dicuci kembali. Hal ini juga menjadi salah satu penilaian hotel ramah lingkungan.
Dari ilmu pengetahuan juga sudah ada penelitian bahwa terjadinya pemanasan global sebagai penyebab utama adalah ternak sebagaimana kutipan artikel berikut :
'Peternakan adalah salah satu sektor yang berkontribusi dalam peningkatan pemanasan global yang berasal dari kotoran dan ekstraksi hewan. Sektor peternakan menyumbang gas metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), karbon dioksida (CO2), dan amonia yang dapat menimbulkan hujan asam.' (Sumber : http://jpi.faterna.unand.ac.id/)
Ini kita bisa kurangi bila manusia mengurangi konsumsi daging. Demikian juga, dari hasil penelitian terbukti bahwa penggunaan air sangat besar untuk menghasilkan 1 ons steak yang dikonsumsi manusia. Dengan demikian tidak lagi kita mengatakan rela mengorbankan kenyamanan lidah agar banyak orang bisa sejahtera karena terjaganya jumlah air bersih.
Selain itu sudah banyak juga penelitian membuktikan bahwa ada korelasi sangat erat antara daging dan penyakit kanker. Sungguh bukti sains membuat kita dengan rela tidak lagi membunuh sapi atau kambing demi kenyamanan lidah. Bukan kah dengan cara ini kita tidak secara terpaksa, tetapi memang dengan rela hati untuk tidak konsumsi daging semata demi kesehatan diri sendiri.