Ya, hidup adalah keberlanjutan. Alam Sini dan alam sana tetap di dunia kita juga. Bila cara pandang buta, setelah kematian pun akan tetap buta. Dahulu saya tidak memahami akan hal ini, tetapi dengan mengerti bahwa yang mati adalah tubuh kasar, sedangkan pikiran dan perasaan/emosi tetap ada; sebagai suksma sharira atau tubuh halus, bisa dimengerti.
Setiap tubuh kita terdiri dari sekian miliar sel. Setiap sel memiliki pikiran dan perasaan, mungkin ada yang tidak percaya. Mengapa???
Karena kebanyakan orang beranggapan bahwa pikiran sama dengan otak. Sama sekali tidak sama. Otak bisa disamakan dengan perangkat kasar atau hardware yang berfungsi bagi pikiran untuk ber-ekspresi. Pikiran dań perasaan/emosi sebut saja sebagai mind bagaikan software atau perangkat lunak. Tanpa bantuan perangkat keras, perangkat lunak tidak bisa dibaca. Otak adalah bagian dari tubuh, saat tiba waktunya, si otak pun tewas bersama dengan tubuh lainnya. Si roh yang terdiri dari gugusan pikiran dan perasaan sebagai suksma sharira atau tubuh halus melanjutkan perjalananya.
Nah, bila pikiran dan emosi kita memiliki cara pandang buta; bukan mata fisik yang buta, tetapi buta cara pandang, maka bisa dipastikan setelah tubuh kasar mati pun, tetap buta pikirannya. Jadi bisa dikatakan bahwa mati dan hidup hanyalah perpindahan dari kamar. Kamar sebelumnya ada tubuh kasar plus tubuh halus, pindah kamar tinggal tubuh halus. Namanya masih sama. Karena pikiran dan perasaan sudah mengidentifikasi dengan nama sama saat berbadan kasar.
Kita belum sadar bahwa sesungguhnya tubuh kasar sudah ditinggalkan, tetapi identifikasi palsu sudah begitu melekat dalam pikiran kita. Oleh sebab itu, nama yang kita pakai di alam sana juga sama. Nama ini juga yang digunakan oleh dukun untuk memanggil Roh A;B,C dsb.
Kebutaan cara pandang hanya dan hanya bisa dibuka selama masih berbadan kasar. Akar masalahnya pada perangkat keras atau hardware otak. Dengan menggunakan otak, kita bisa mengubah frekuensi sesuai dengan atmosphere atau vibe lingkungan kita. Ketiadaan perangkat keras/ otak, maka kita akan sulit mengubah gelombang otak atau frekuensi.
Kita bisa berkomunikasi dengan seseorang karena adanya kesamaan frekuensi. Beda gelombang pikiran atau frekunsi, tidak bisa komunikasi. Bukan'kah cara pandang sama memiliki juga frekuensi sama?
Terkadang saya berpikir, saat kita bicara atau kemunikasi dengan seseorang berarti kita sedana dałam dunia yang sama. Namun juga pada saat yang sama kita sedana memikirkan keluarga atau kerabau lainnya. Dengan kata lain, sesungguhnya kita hidup dałam dunia paralel. Pikiran kita tidak bisa dibatasi, itulah sebabnya tilak berda dałam otak. Karena pikiran masih berupa materi, suatu ketika bisa disimpan juga pada perangkat lunak; MUNGKIN.....
Jadi, agar di alam sana kita tidak lagi buta, marilah saat masih berbadan kasar, kita tidak buta cara pandangnya. Janganlah sia-siakan berkah kehidupan saat ini untuk meluaskan cara pandang sehingga di alam sana tidak buta. Betapa indah pesan yang tertera pada salah satu kitab yang ditinggalkan oleh seorang suci. Ya, hanya saat kita berbadan kasar atau perangkat keras bisa memperoleh cara pandang luas atau membuat tidak buta.