Lihat ke Halaman Asli

Marhento Wintolo

Pensiunan Dosen

Pelaksanaan Sila Ke-4 , Cara Demokrasi Negara Pancasila

Diperbarui: 20 Februari 2024   06:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://brainly.co.id/

Bagi negara kita yang berlandaskan Pancacasila untuk memutuskan segala perkara hukum, termasuk pepbuatan hukum, semestinya mengacu Sila ke 4:  'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan'

Sayang sekali dalam kenyataan praktiknya, kita masih meniru cara demokrasi seperti era penghukuman Jesus, atau mungkin lebih kuno lagi. Inilah contoh atau cara demokrasi yang digunakan kala itu; dikutip dari Injil Matius 27:19-26 :

"Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan, istrinya mengirimkan pesan
kepadanya:'Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia
aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam.'
"Tetapi oleh hasutan imam-imam kepala dan tua-tua, orang banyak bertekad
untuk meminta supaya Barabas dibebaskan dan Jesus dihukum mati.
"Wali negeri menjawab dan berkata kepada mereka: 'Siapa di antara kedua orang itu yang
kamu kehendaki kubebaskan bagimu/' Kata mereka 'Barabas'
"Kata Pilatus kepada mereka: 'Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Jesus,
yang disebut Kristus?' Mereka semua berseru: Ia harus disalibkan!!'
"Katanya: 'Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan Nya?'
Namun mereka makin keras berteriak: 'Ia harus disalibkan!'
"Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan,
ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata:
'Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!'
"Dan seluruh rakyat menjawab: 'Baiklah darah Nya ditanggungkan atas
kami dan anak-anak kami!'
"Lalu ia membebaskan Barabas bagi mereka, tetapi Jesus diserahkan pada mereka untuk disalibkan.'

Silakan simak yang di-bold. Semuanya berlandaskan keputusan mayoritas. 

Pertanyaannya adalah: 'Bagaimana bila mayoritas yang menentukan keputusan dalam perkara belum memiliki kecerdasan atau saya lebih tekankan bahwa para penentu keputusan masih mengandalkan emosi?

Bukankah bila kita masih menggunakan emosi juga berarati masih pada ranah atau wilayah otak mamalia?

Rasa takut dalam memutuskan perkara juga ranah otak reptilia?

Mari kita ambit contoh kasus lain........

Alkisah:

Di Suatu desa terpencil jaman dahulu kala.....

Kikisahkan ada seorang yang dinyatakan meninggal dunia. Adalah suatu kebiasaan adat turun temurun bahwa bila ada seorang yang dinyatakan meninggal wajib diperiksa oleh 5 orang untuk memutuskan bahwa orang tersebut sungguh-sungguh meninggal dunia..

Datanglah ke 5 orang tersebut memeriksa jenazah. 5 orang tersebut terdiri dari satu orang yang mungkin di era modern disebut dokter. Artinya betul-betul memiliki keahlian untuk memastikan bahwa orang sudah mati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline