Lihat ke Halaman Asli

Marhento Wintolo

Pensiunan Dosen

Urip Iku Urup

Diperbarui: 20 Januari 2024   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://radiomuslim.com/  

Kearifan Jawa ini sungguh berlaku sepanjang jaman. Bukan hanya di masa lalu, tetapi selama manusia ingin saling hidup bersama dalam kedamaian, terapkanlah pesan luhur ini. 

Urip bermakna hidup. Tetapi bila hanya hidup untuk diri sendiri, layak kah kita disebut sebagai manusia yang katanya makhluk sosial. Bisakah kita hanya hidup sendiri? Bahkan di hutan pun kita butuh tanaman untuk makan. Dengan sembarangan menebang pohon, tanga merawatnya, suatu ketika habis juga pohon. 

Urup berarti menghidupi. Sebagai ungkapan 'urup', kita mesti merawat pohon sehingga di kemudian hari buahnya bisa dipetik untuk dimakan. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari. Seorang asisten rumah tangga (ART) yang membantu di rumah juga aset bagi kita. Pekerja di pabrik pun bila dianggap sebagai aset perusahaan, dapat dipastikan hidup menjadi lebih indah.  

Pepatah dari Jawa ini jika dimaknai dengan tepat bisa menjadikan dunia semakin indah. Sesungguhnya memang hal itu yang ingin diungkapkan oleh orang mencetuskan. Seseorang yang mencetuskan kalimat yang sarat makna kebaikan untuk semua manusia dapat dipastikan telah mengalami kebahagiaan sejati. Hanya seseorang yang telah merasakan kebahagiaan sejati yang bisa mengungkapkan kalimat tersebut. Mengapa?

Seseorang dapat merasakan kebahagiaan bila bisa berbagi sesuatu bisa memberikan kebahagiaan orang lain. Berbagi yang paling bernilai adalah berbagi sesuatu yang bisa membuat orang lain menyadari makna kehidupan. Urup berarti menghidupkan. Menghidupkan apa?  Tentu menghidupkan atau membangunkan jiwa yang selama ini tertidur nyenyak. Bisa saja badan bangun tetapi jiwa tertidur pulas. Bagaimana bisa?

Kita sering melihat seseorang pengendara mobil membuang sampah saat di jalan raya. Mereka tidak sadar bahwa mebuang sampah yang tidak pada tempatnya penyebab utama banjir. Mereka yang hidup seperti ini bisa dikatakan hidup hanya badannya tetapi empatinya mati. Jelas belum memahami da menerapkan pepatah peninggalan leluhur agar hidup saling mengarifi.

Seseorang yang menyadari bahwa urip atau hidup saat ini sebagai anugerah atau berkah akan merasakan kebahagiaan hidup. Hatinya begitu ceria dan bahahia karena berkah Tuhan kita bisa hidup untuk melanjutkan evolusi jiwa. Tanpa hidup di dunia, sang jiwa mulia dalam tubuh kita tidak akan terbebaskan. Sang jiwa terikat atau terpenjara oleh 'mind' atau pikiran. Dengan demikian, sesungguhnya keberadaan kita di bumi adalah untuk berbagi kesadaran yang kita rasakan.

Banyak di sekitar kita yang kondisinya seperti hal ini. Tampaknya matanya melek, tetapi jiwa atau kesadarannya tertidur. Mereka yang hidup seperti ini sesungguhnya belum hidup dengan utul. Mereka masih tertidur dalam buaian alam mimpi bahwa kita bisa bahagia karena memuja 3 'ta'. Harta, wanita, dan tahta. Padahal Ketiga hal tersebut tidak langgeng alias terus berubah. Bagaimana mungkin kita bahagia bila bergantung pada sesuatu yang senantiasa berubpah. Saat Ini milik kita, tetapi suatu saat akan berpindah juga kepada orang lain. 

https://radiomuslim.com/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline