Lihat ke Halaman Asli

Marhento Wintolo

Pensiunan Dosen

Matilah Semasa Hidup

Diperbarui: 8 Januari 2024   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: booksindonesia.com

Saya dulu tidak memahami pesan para leluhur ini, namun setelah saya membaca buku Atma Bodha yang dituliskan Bapak Anand Krishna, saya bisa memahaminya. 

Dalam buku tersebut dituliskan:

Seorang Jeevanmukta sadar bahwa apa yang sedang ia cari ada di dalam dirinya, sudah dari dulu. Tinggal menggali diri saja, maka seluruh kesadaran dialihkan ke dalam diri.

Ini yang dalam berbagai tradisi disebut "MATI SEBELUM MATI", "MATI SEMASA HIDUP". Dengan seluruh kesadaran dialihkan ke dalam diri, seorang "mati" bagi dunia luar, bagi bayang-bayang di luar diri, bagi sesuatu yang ilusif.

Yang dimaksudkan dengan Jeevanmukta adalah mereka yang sudah sadar akan jati dirinya. Mereka yang sudah memahami bahwa dirinya merupakan percikan Ilahi. Ya bagaikan percikan air laut, hanya beda kuantitas, namun kualitasnya tidak beda. 

Mereka memahami bahwa kebahagiaan bukanlah berada di luar diri, segala sesuatu di luar diri hanya bersifat sementara. Tidak ada yang langgeng sehingga tidak ada manfaatnya mengejar yang hanya bersifat sementara. 

Mari kita renungkan, adalah sesuatu di luar diri yang berbentuk materi abadi? Ketika kita ingin mobil baru, berapa lama kita senang, bukan bahagia, namun hanya kepuasan sesaat. Setelah paling lama satu bulan, ya hilanglah kelegaan. Setelah itu, ya biasa. Kemudian kita berburu barang lainnya, puas atau lega sesaat, kemudian cari lainnya...

Seperti itulah hidup kita.....

Bagaimana mungkin kita mengharapkan bahagia yang jangka panjang pada sesuatu materi yang bersifat terus berubah?

Yang disebutkan "mati semasa hidup" adalah menutup diri terhadap segala keinginan duniawi. Dengan kata lain, kita membunuh atau melampaui keinginan-keinginan indrawi. 

Pikiran kita sendiri yang kita bunuh. Segala sesuatu keinginan muncul dari pikiran. Inilah yang disebut intelektual, sedangkian intelejensia adalah Buddhi. 

Dengan mematikan keinginan, kita mati semasa masih hidup. Sehingga segala hal yang kita perlukan adalah hal yang memang dibutuhkan untuk hidup. Inilah yang disebut makan untuk hidup. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline