Lihat ke Halaman Asli

Divisi Riset RKIM UB

Riset dan Karya Ilmiah Mahasiswa Universitas Brawijaya

Daddy Issue: Menyingkap Hubungan Romantis anak Perempuan Tanpa Figur Ayah

Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis : Zahra Ayu Anggraini, Endra Anugrah Apriyanto

Beberapa bulan yang lalu, media sosial sempat ramai membahas mengenai fakta bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia. Ini menunjukan bahwa banyak anak di Indonesia tumbuh tanpa keterlibatan ayah dalam kehidupan mereka. Hal ini didukung oleh laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bertajuk 'Kualitas Pengasuhan Anak di Indonesia' pada tahun 2015. Berdasarkan hasil survei, ditemukan bahwa proporsi peran Ibu dalam pengasuhan anak di fase awal lebih mendominasi dibandingkan peran Ayah, dengan persentase proporsi Ibu sebesar 89,9 persen dan Ayah sebesar 69,9 persen. Selain itu, pada hasil survei disebutkan bahwa inisiatif Ibu dalam membuka komunikasi dengan anak serta memberikan apresiasi kepada anak juga lebih baik dibandingkan Ayah. 

Fatherless sendiri merupakan kondisi seseorang yang tumbuh tanpa kehadiran ayah dalam kehidupan anak. Menurut Ashari (2017) konsep fatherless dapat diartikan sebagai absen nya figur ayah dalam proses pengasuhan. Namun, makna yang dimaksud bukanlah kehilangan ayah dalam artian wafat tetapi ketidakhadiran peran ayah secara emosional dan psikologis dalam tumbuh kembang anak. Berdasarkan data dari United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2021. Sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah (Fatherless).  Ketidakhadiran sosok ayah khususnya pada anak perempuan dapat membuat anak perempuan lebih rentan mengalami daddy issues. Menurut Nainggolan, et al. (2024) daddy Issues merujuk pada kondisi psikologis yang muncul akibat ketidakhadiran atau disfungsi sosok ayah dalam kehidupan individu, terutama yang mempengaruhi hubungan romantis mereka. Istilah ini sering diterapkan pada perempuan yang mencari pasangan yang lebih tua untuk mengisi kekosongan emosional yang ditinggalkan oleh ayah mereka. Rollo (2022) dalam Santos & Longhurst (2022) menyatakan bahwa daddy Issues dapat terjadi pada siapa saja yang mengalami luka keterikatan yang sering terjadi pada anak perempuan karena hubungan yang kurang harmonis dengan ayah mereka. 

Salah satu anak perempuan yang menjadi korban dari fatherless  adalah influencer R. Selain dikenal sebagai influencer dan pebisnis sukses, R juga sering terbuka tentang pengalamannya tumbuh tanpa kehadiran ayah. R mengalami daddy issue karena perceraian orang tuanya. R menceritakan bagaimana ketidakhadiran sosok ayah berdampak besar pada hidupnya, memengaruhi cara ia membangun hubungan dan pandangan terhadap keluarga. R tidak hanya kehilangan sosok ayah yang secara fisik tidak hadir dalam kehidupannya, tetapi juga merasakan dampak emosional yang mendalam. Perceraian tersebut menyebabkan ayah R menjauh, sehingga ia tumbuh tanpa adanya bimbingan, dukungan, dan kasih sayang yang cukup. Perceraian sendiri merupakan salah satu faktor terbesar atas terjadinya daddy issue pada anak.  Hal ini sesuai dengan statement yang disampaikan oleh Santos & Longhurst (2022) yang mengungkapkan bahwa setiap anak, terutama perempuan, memiliki tingkat daddy issues mereka sendiri, baik itu berasal dari pengasuhan yang buruk, orang tua yang bercerai, atau memiliki orang tua yang sering bertengkar.

Daddy Issue lambat laun tanpa disadari berdampak signifikan terhadap perkembangan anak, terutama dalam aspek sosial emosional. Pada dampak aspek sosial emosional, kekosongan sosok ayah yang dirasakan oleh seorang anak tidak secara langsung dapat seketika disadari. R sendiri mengaku bahwa kurangnya peran ayah dalam hidupnya membuatnya sulit memiliki kepercayaan kepada orang lain dan membuatnya lebih bergantung kepada sosok laki-laki. Selain itu, R juga sering mempertanyakan keberadaan ayahnya yang akhirnya membawanya kepada perasaan kehilangan. 

Menurut Nainggolan et al. (2024) daddy issue juga sangat mempengaruhi hubungan interpersonal anak perempuan. Anak perempuan yang mengalami absen peran ayah sering kali menormalisasikan suatu hubungan yang toxic. Hal ini terjadi karena mereka terbiasa dengan hubungan yang kurang harmonis dan sering kali merasa nyaman dalam hubungan yang penuh konflik, walaupun hal itu dapat merugikan diri mereka sendiri. Ketergantungan pada kasih sayang laki-laki juga menjadi hal yang sering terjadi karena perempuan yang mengalami daddy issue cenderung ingin mencari sosok yang memberikan mereka kasih sayang dan cenderung mencari validasi dari sosok laki-laki untuk memenuhi kebutuhan emosional mereka, yang seharusnya hal itu terpenuhi melalui hubungan keluarga yang sehat, terutama dengan ayah.

Selain itu, rasa takut berkomitmen sering kali menjadi dampak yang dirasakan. Perempuan yang mengalami daddy issue bisa sangat takut dan kesulitan dalam membangun suatu hubungan karena ia tidak memiliki contoh yang kuat bagaimana membangun hubungan yang kuat, hal ini juga bisa terjadi karena adanya trauma ditinggalkan sehingga mereka juga sulit untuk membuka diri atau mempercayai orang lain. Akibatnya, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam membangun kepercayaan, yang menjadi dasar penting untuk menjalani hubungan yang sehat di masa depan.

Dampak daddy issue yang dikemukakan Nainggolan et al. (2024) dapat dikaitkan dengan teori Kelekatan (attachment) yang pertama kali diperkenalkan oleh John Bowlby. Bowlby menjelaskan bahwa kelekatan adalah perilaku dasar manusia untuk mencari kedekatan dan kenyamanan dari sosok yang dianggap sebagai "figur kelekatan," yang biasanya adalah orang tua, terutama ayah atau ibu. Ketika sosok ayah tidak hadir secara emosional atau fisik, anak mungkin akan mengalami kesulitan dalam membentuk pola kelekatan yang aman. Dalam kasus daddy issue, ketergantungan pada kasih sayang laki-laki dan kesulitan membangun kepercayaan dapat dijelaskan sebagai akibat dari pola kelekatan yang tidak aman.

Seiring dengan teori Kelekatan, dampak daddy issue juga sangat terkait dengan perkembangan sosio-emosional. Perkembangan sosio-emosional mengacu pada perubahan yang terjadi dalam hal interaksi dengan orang lain serta kemampuan individu untuk memahami dan mengelola emosi mereka. Ketika seorang anak tidak memiliki hubungan emosional yang kuat dengan ayah, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam memahami atau mengelola perasaan mereka sendiri. Akibatnya, mereka cenderung terjebak dalam pola hubungan yang tidak sehat dan memiliki keterbatasan dalam mengembangkan kemampuan emosional yang matang. Tanpa adanya model hubungan yang sehat dan penuh kasih sayang, anak-anak dengan daddy issue mungkin akan kesulitan dalam membangun dan memelihara hubungan yang sehat di masa dewasa.

Terdapat solusi praktis dengan pendekatan preventif seperti konseling pra-nikah yang memainkan peran penting dalam membangun komunikasi yang baik dan memahami harapan serta tanggung jawab masing-masing sebelum berkeluarga. Dengan memperkuat fondasi hubungan dan memberikan strategi untuk mengatasi konflik, pasangan dapat lebih siap menghadapi tantangan dalam pernikahan dan mengurangi risiko perceraian yang berdampak pada kondisi psikologis anak. Selain itu, pendidikan mengenai pengasuhan bersama (co-parenting) dapat menjadi fokus utama dalam konseling, memberikan pasangan wawasan tentang bagaimana menjaga keterlibatan aktif ayah dalam kehidupan anak meskipun setelah perceraian.

Bagi keluarga yang telah mengalami perceraian, konseling keluarga menjadi alternatif yang efektif untuk mengatasi masalah yang ada. Konselor akan membantu anggota keluarga berkomunikasi secara terbuka tentang perasaan mereka, sehingga mengurangi ketegangan dan meningkatkan pemahaman antara mantan pasangan serta anak-anak mereka. Melalui sesi konseling, mantan pasangan dapat belajar tentang pentingnya kolaborasi dalam pengasuhan dan bagaimana mereka bisa menciptakan lingkungan yang stabil bagi anak-anak mereka. Dengan pendekatan ini, tidak hanya mengurangi dampak negatif dari perceraian, tetapi juga menciptakan fondasi yang lebih baik untuk perkembangan anak-anak di masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline