Lihat ke Halaman Asli

Pergolakan Batin menjadi Guru

Diperbarui: 14 Oktober 2023   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saya adalah seseorang yang sebelumnya tidak pernah membayangkan, jika saya bisa mendapatkan akses pendidikan sampai pada titik ini. Sewaktu masih pelajar saya bercitacita ingin menjadi seorang dokter. Tetapi karena keterbatasan ekonomi membuat saya tidak langsung mengakses pendidikan tinggi. Namun saya ditawari dan dibantu oleh seorang guru saya untuk mendaftar ke perguruan tinggi melalui jalur bidikmisi. Saya dinyatakan lolos verifikasi administrasi, dan saya harus berangkat ke Semarang (Universitas Negeri Semarang) untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur SBMPTN. Hasil seleksi tersebut ternyata belum berpihak pada saya. Bahwa saya dinyatakan tidak lolos dan belum berkesempatan untuk masuk perguruan tinggi melalui jalur yang sudah saya ikuti karena syarat berlakunya beasiswa bidikmisi tersebut adalah lolos di perguruan tinggi yang sudah dipilih saat mendaftar.

Harapan saya nyaris pupus.

Saya memutuskan untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu, untuk bisa bertahan di pulau Jawa. Ketika saya mulai memasukan lamaran pekerjaan ke beberapa tempat, saya justru ditawari oleh seorang kenalan saya untuk mengajar di sebuah sekolah swasta namanya Pelita Hati School di Gajah Mungkur Semarang. Dan saya menerima tawaran tersebut karena bagi saya waktu itu, apapun pekerjaannya asal saya punya pemasukan. Singkat cerita, benih semangat dan kebanggaan menjadi seorang mulai tumbuh. Betapa tidak, setiap hari saya berinteraksi dengan para siswa. Saya bekerja selama kurang lebih 6 bulan.

Ketika penerimaan mahasiswa baru tiba, saya ditawari oleh kenalan saya yang tinggal bersebelahan dengan kost saya untuk mendaftar di kampus dimana beliau mengajar. Beliau kebetulan merupakan Ketua Program Studi PGSD Universitas Kanjuruhan Malang yang sedang melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Negeri Semarang. Saya menerima tawaran itu dan memberikan berkas saya untuk didaftarkan. Saya juga bersyukur karena berkat beliau saya mendapatkan keringanan biaya pendidikan. Dan puji Tuhan saya akhirnya bisa mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dengan mengambil Program Studi PGSD.

Awalnya saya mengira bahwa karena nantinya akan mengajar anak SD maka perkuliahannya pun akan mudah. Ternyata dugaan saya meleset. Perkuliahan PGSD begitu berat karena begitu banyak kompetensi yang harus dikuasai. Dosen-dosen saya mengatakan bahwa justru nantinya kami akan mengajar anak SD yang begitu polos bagaikan kertas putih, maka kualitas kami sebagai calon guru harus benar-benar ditingkatkan. Hal itu menjadi suatu titik tolak dimana saya mulai merefleksikan posisi pendidikan saya sekaligus memproyeksikan tentang bagaimana nantinya saya selesai untuk mengabdikan diri sesuai pilihan saya saat ini. Dan pada akhirnya saya selesai dengan begitu banyak pengalaman yang saya dapatkan dari proses panjang yang saya lewati.

Bagi saya, menjadi seorang guru adalah panggilan jiwa. Bahwa tanpa panggilan jiwa, seorang guru mungkin akan merasa berat menjalankan perannya. Hanya dengan menghayati betul-betul panggilan tersebut maka tugas dan peran guru bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dan penuh ketulusan dan keikhalasan. Sudah bukan rahasia umum bahwa hari-hari ini banyak orang yang cenderung tidak memilih menjadi guru adalah karena persoalan kesejahteraan guru yang kurang diperhatikan. Yang artinya terdapat ketimpangan antara hak dan kewajiban seorang guru.

Bahwa dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya, guru dihadapkan dengan berbagai tantangan. Mulai dari kewajiban administrasi dalam hal menyiapkan berbagai macam perangkat pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum sampai pada manajemen pongkondisikan kelas untuk kelangsungan pembelajaran yang lebih efektif. Administrasi yang harus disiapkan begitu banyak. Karakteristik peserta didik juga beragam. Bayangkan, seorang guru dituntut untuk bisa mencapai tujuan pembelajaran sebagaimana sudah ditetapkan. Tetapi karena karakteristik peserta didik yang begitu beragam faktor perbedaan latarbelakang, rentang usia dan gender membuat pembelajaran kadangkala tidak bisa berjalan sebagaimana konsep yang sudah disiapkan. Beberapa hal tersebut menjadi tantangan yang bagi guru untuk kemudian terus belajar mengupgrade diri sebagai guru yang profesional. Untuk bisa menghadapi kenyataan yang ada.

Kembali lagi bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa, guru adalah jalan pengabdian. Bagaimana seorang seseorang bisa mengabdikan diri bagi pembangunan masyarakat, bangsa dan negaranya. Hal ini sejalan dengan amanat pembukaan UUD 1945 yakni "mencerdaskan kehidupan bangsa". Saya bangga menjadi seorang guru. Saya berharap dengan kesempatan mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG) ini, saya bisa belajar dan mempersiapkan diri menjadi seorang guru yang profesional untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.

Dan persoalan kesejahteraan guru, saya cukup mengapresiasi kebijakan pemerintah melalui Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang kebetulan saya juga menjadi salah satu pesertanya. Satu-satunya program pendidikan profesi yang dibiayai penuh oleh pemerintah. Barangkali ini adalah salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, dengan berbagai peluang yang bisa diambil seusai mendapatkan sertifikat pendidik.

***Sekian & Terima Kasih.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline