Lihat ke Halaman Asli

Cinta yang Menikahkan Kami - Air Mata Retak

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SEBUAH NOVEL KARYA MARHAENI EVA

AIR MATA RETAK (GRASINDO, 2009)

SUB-JUDUL I

CINTA YANG MENIKAHKAN KAMI

Pada akhirnya ketulusan kasihku bisa dirasakan juga oleh Nawang, walaupun pada mulanya ia enggan mengakui dan berupaya mengingkari perasaannya sendiri. Dan ketika egonya luruh lalu ia menyambut cintaku, maka seketika itu pula aku mengajaknya untuk segera meneguhkan hubungan kami. Nawang pun menyetujuinya.
Dengan acara selamatan sederhana namun cukup meriah dan sarat nuansa kebersamaan, kami meneguhkan cinta, dihadiri dan disaksikan para sahabat dan kawan-kawan kami. Tidak ada imam dari agama apapun yang memberikan sakramen, ijab, ataupun pemberkatan pada peneguhan cinta kami. Karena tidak ada satupun institusi agama yang berani bertanggungjawab mensyahkan hubungan cinta kami, hanya karena kami tidak memilih satupun diatara kelima agama yang diakui negara itu sebagai agama yang dicantumkan dalam KTP kami, walaupun kami mempercayai semua agama, yang semestinya mewartakan esensi kasih dan kebenaran belaka. Kami penganut aliran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, sumber Kasih yang Maha Benar. Pada mulanya ada pihak yang menawarkan agar kami secara sukarela memilih salah satu agama yang diakui negara, untuk sekedar formalitas agar pernikahan kami diakui dan syah secara hukum formal maupun agama. Namun kami menolak sekaligus merasa prihatin karena hal itu merupakan pelecehan terhadap hak asasi dimana kami mempunyai kemerdekaan memilih keyakinan kami. Keyakinan yang tidak “hanya” dibatasi bingkai lima agama itu saja. Dan kemerdekaan untuk menentukan pilihan akan keyakinan kita itu dijamin oleh undang-undang. Kesakralan kasih, keteguhan cinta dua hati yang bersetia pada sebuah komitmen tidaklah ditentukan oleh sekedar selembar kertas berstempel agama tertentu.
Semula aku menawarkan upacara adat Jawa dengan ritual dan paesan lengkap, namun Nawang menolak, dengan alasan bahwa upacara panggih atau temu manten adat Jawa itu sarat simbol-simbol kekuasaan patriarkat, contohnya; pengantin putri harus jongkok membasuh telapak kaki pengantin pria setelah sebelumnya bersembah dahulu, sebagai simbol kesetiaan dan kepatuhan istri terhadap suami. Kesetiaan dan saling menghormati dengan sendirinya adalah hak dan kewajiban kami, tidak harus memposisikan yang satu lebih tinggi dari yang lain. Disamping itu, orang tua kami tidak ada yang ambil bagian dalam acara peneguhan ini, demikian juga tak ada wali sebagai syarat utama seremonial. Bukannya kami tak bisa mencari wali, namun kami memang lebih memilih semua sahabat dan handaitolan yang hadir dan ikut merayakan peneguhan ini sebagai wali sekaligus saksi kami. Karena itu akhirnya kami memilih acara yang lebih ringkas dan sesuai dengan kesetaraan, tanpa meninggalkan simbol-simbol kearifan budaya lokal dan simbol kesakralan serta keharmonisan perkawinan. Misalnya; sepasang patung Loro Blonyo sebagai simbol Dewi Sri dan Sedhana; yakni lambang kesuburan dan kemakmuran serta keharmonisan cinta, yang diletakkan di sekitar pelaminan, lengkap dengan berbagai pernik sesaji yang dikemas dalam Takir, Sudhi, Samir, yang terbuat dari daun pisang. Juga Kembar Mayang serta simbol-simbol keharmonisan yang lain, seperti sepasang burung merpati, yang kesemua bahannya dominan terbuat dari janur. Alas pelaminan kamipun bukanlah permadani mahal buatan Kashmir atau Persia melainkan Lampit Rotan dari Kalimantan serta Tikar Pandan, yang bahannya diperoleh dari hutan dan ladang yang merupakan pernik khas negeri sendiri dan dianyam oleh ibu-ibu dari pedesaan. Rumah Nawanglah yang kami pakai untuk mengadakan perhelatan. Kami tetap mengenakan busana pengantin Jawa tanpa ada acara temu dan cuci kaki. Kami duduk, berdiri, berjalan menyambut tetamu. Teman-teman Nawang dari kalangan seniman berdatangan, membantu dan mengambil bagian dalam acara kebersamaan itu. Ada yang menyumbangkan tari Karonsih; yaitu gerak tari jawa yang melambangkan percumbuan cinta sepasang kekasih. Ada yang menyumbangkan pernak-pernik perlengkapan acara yang mengacu pada adat budaya. Namun ada ironi dalam acara itu, yakni ketidak hadiran keluarga kami masing-masing yang menyadarkan kami untuk sabar dan berendah hati sebagai orang-orang yang menjadi korban pengucilan, terbuang dari institusi keluarga. Kami membungkus rasa sakit dan derita sebagai sepasang kekasih yang sama-sama terasing dan tersingkir oleh keluarga yang kami cintai, dengan merayakan pengukuhan kasih melalui pesta syukuran yang semarak akan kebersamaan itu.

----bersambung----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline