Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Mahasiswa Berprestasi dan Mitos Akademis (Part 1)

Diperbarui: 25 April 2019   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mahasiswa (KOMPAS/DIDIE SW)

Kampus sebagai institusi akademik dengan hadirnya kebebasan intelektual dan kebebasan mimbar dalam menyampaikan disiplin kelimuan, tentu menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademika dan wajib dilindungi juga difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi (UU. No. 12 Tahun 2012). Sehingga, dapat dikatakan bahwa segala hal dapat dikaji dan ditelaah secara konseptual, sesuai dengan metodologi keilmuan masing-masing. Hal tersebut tidak ada pengecualian topik yang tabuh untuk dibahas, karena segala hal yang dijelaskan secara ilmiah harus menghilangkan faktor-faktor umum masyarakat seperti, tradisi, mitos, bahkan dogma agama. Landasan berpikir akademik semacam ini berpedoman pada paradigma positivistik yang melihat ilmu pengetahuan hanya bersumber pada rasionalitas-empiris. Sehingga upaya dekonstruksi makna dalam memahami suatu fenomena, dapat dikaji secara akademik tanpa ada intervensi terhadap kebebasan intelektual yang dilandasi dengan rasa tanggung jawab.

Fenomena yang menarik dalam lingkup kampus yang mungkin dikaji menggunakan pendekatan post-modernisme adalah fenomena mahasiswa berprestasi yang mungkin marak di lingkup sivitas akademika. Ajang pemilihan mahasiswa berprestasi tersebut, rutin dilaksanakan tiap tahun dengan kriteria yang berdasar pada pencapaian prestasi akademik dan non-akademik. Berbagai prestasi yang ditorehkan mahasiswa di lingkup nasional hingga internasional tergambar penuh dalam riwayat prestasi yang nantinya diberi penilaian dari juri untuk menentukan pemenang di akhir pergelaran. Hanya saja pemaknaan mahasiswa berprestasi, apakah ditujukan pada mahasiswa yang berprestasi secara akademik dan non akademik sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi? Mungkin demi menjaga atau hanya ingin menaikkan akreditas kampus. 

Ataukah pula istilah mahasiswa berprestasi, hanyalah upaya kampus dalam menciptakan mitos akademis demi mendominasi pemikiran mahasiswa secara umum untuk terus berpacu dalam hal akademik (program kreativitas mahasiswa, LKTI, atau ajang perlombaan lainnya) yang nantinya memunculkan sikap apatisme terhadap berbagai kebijakan kampus yang terbilang janggal dalam pelaksanaan pendidikan. Sebagai contoh, perubahan status perguruan tinggi Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi perguruan tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) yang berlangsung secara sistematis dengan melihat kebutuhan kapitalisme pasar pendidikan. 

Tentu mahasiswa secara umum tak menyadari akan topik yang sedang hangat pada hampir setiap perguruan tinggi di seluruh Indonesia, karena para mahasiswa telah disibukkan dengan aktivitas akademis yang dampaknya konkret secara pragmatis. Tetapi, topik ini sangat strategis untuk dikaji oleh para mahasiswa yang katanya aktivis kampus, dalam mengawal proses peralihan status perguruan tinggi yang dilakukan dengan aksi demo untuk menuntut berlangsungnya transparansi kebijakan tersebut. Sehingga, kalaupun hasil yang diperoleh bernuansa positif dari para birokrat kampus, dengan adanya pernyataan resmi terkait proses peralihan status perguruan tinggi, tentu menjadi sebuah reward tersendiri bagi mahasiswa aktivis kampus dalam memberikan proyek penyadaran bagi mahasiswa umum lainnya. Tetapi mahasiswa aktivis tadinya, tidak akan digolongkan sebagai mahasiswa berprestasi dengan dalih dikarenakan menghambat proses percepatan pembangunan kampus dalam prosesi tujuan akhir PTN-BH. 

Hal lain pula mahasiswa yang menolak adanya aktivitas kampanye di kampus karena mendekati ajang pemilu, tentu tidak akan digolongkan sebagai mahasiswa berprestasi, dikarenakan bertentangan dengan para kepentingan birokrat kampus yang mungkin saja memiliki kedekatan politik dengan calon yang akan berkontestasi dalam pemilu nantinya. Sehingga, desakan dari mahasiswa untuk menjaga netralitas perguruan tinggi dari aktivitas politik praktis, yang biasanya dimuat dalam bentuk-bentuk seminar dengan menghadirkan tokoh-tokoh politik dalam momen yang sangat politis pula, tentu akan mendapat peringatan tak logis dari kampus dikarenakan menghambat proses akademis di kampus. Bahkan yang unik pula terjadi di UIN Ar-Raniry akhir-akhir ini, dengan adanya dukungan terhadap demo mahasiswa yang menolak proyek pertambangan demi kepentingan rakyat dari seorang dosen yang menyiapkan nilai A untuk mahasiswa peserta aksi. Tentu ini sebuah paradigma yang bertolak logis secara umum yang dilakukan oleh dosen tersebut, terhadap mahasiswa yang ikut demo dalam memperjuangkan hak rakyat. Namun, setelah ditelusuri hal demikian berkorelasi lurus dengan kebijakan dosen karena notabene sejak mahasiswa, dosen tersebut juga dulunya seorang aktivis kampus yang sering melakukan aksi-aksi demo dalam menolak kebijakan yang tidak pro-rakyat. Lantas, pertanyaannya apakah mahasiswa yang mengikuti aksi demo tersebut termasuk mahasiswa berprestasi dikarenakan mendapat reward nilai A dari dosennya?, sedangkan mahasiswa tersebut mungkin saja tidak berprestasi secara akademik dan non-akademik. 

Sehingga, pemaknaan mahasiswa berprestasi secara hakiki tersebut pada akhirnya seperti apa?, apakah mereka yang berprestasi secara akademik dan non-akademik, ataukah mereka yang sering mengkritisi setiap kebijakan dengan adanya pernyataan sikap, ataupun nantinya diakhiri dengan aksi demo mahasiswa?, yang pada akhirnya berdampak secara sosial dalam perjuangan kesejahteraan umum. Memahami fenomena tersebut, penulis menggunakan pendekatan post-modernisme dengan mengacu pada karya Michel Foucault berjudul "The History of Madness" dan "Mythologies" karya Roland Barthes.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline