Pada abad ke-8, kota Baghdad termasyur sebagai pusat pembelajaran terbesar di dunia, menyambut semua agama, filsafat dan sains ke dalam universitas dan perpustakaannya. Selama 500 tahun, curahan inovasi ilmiah dari kota itu belum pernah dilihat sebelumnya oleh dunia, dan pengaruhnya masih terasa hingga saat ini, walau kini fasad Baghdad modern harus tercabik karena perang dan narasi kebencian. Dalam bidang astronomi, penetrasi ilmuwan Baghdad menjulang setinggi-tingginya. Hingga saat ini, lebih dari dua pertiga bintang di langit punya nama yang berasal dari bahasa Arab, karena ditemukan oleh para astronom di dunia Arab.
Pada akhir abad ke-11, penjelajahan dan penemuan intelektual terbesar di dunia berlangsung di dan sekitar Baghdad. Lalu, nyaris dalam semalam, semuanya berubah. Seorang cendekiawan brilian bernama Abdul Hamid al-Ghazali -- dikenal sebagai pengarang kitab kuning ternama Ihya Ulumuddin -- menulis serangkaian narasi persuasif yang mempertanyakan logika Plato dan Aristoteles serta mengkritisi ilmuwan yang terlalu percaya matematika dan meninggalkan nilai-nilai agama. Al-Ghazali -- langsung maupun tidak -- dituduh sebagai pemicu runtuhnya tradisi keilmuan islam. Sejak narasi Al-Ghazali lantas muncul tendensi kuat: wahyu menggantikan investigasi ilmiah. Dunia islam tradisional terpuaskan oleh "mantra" Al-Ghazali, tetapi pemikiran ilmiah islam lambat laun mengalami defisit, tidak kunjung pulih hingga abad milenial ini. Beruntung, tradisi ilmiah Baghdad diambil alih secara sempurna oleh Barat dengan terlebih dahulu mendepak kekristenan ke titik sepi.
Di tengah defisit ini muncullah nama Ulil, -- nama lengkapnya Ulil Abshar Abdalla, menantu Gus Mus Rembang -- menisbatkan diri sebagai lokomotif pembaruan pemikiran islam Indonesia, melanjutkan tradisi berfikir kritis-kontekstual ala Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid dan Gusdur. Bagi beberapa kalangan, Ulil lebih berbahaya dari ketiganya, karena jika ketiganya masih mensakralkan teks keagamaan, sedangkan Ulil -- mungkin karena terlalu percaya diri atau ingin membangunkan umat dari "matra" Al-Ghazali -- mencoba melangkah jauh. Langkah jauhnya terdeteksi mana kala ia menulis di Harian Kompas (18/11/2002) yang berjudul: "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam." Judulnya "segar" tetapi salah satu uraiannya justru "membakar" umat islam, karena Ulil -- dengan mengutip pendapat Nasr Hamid Abu Zayd (cendekiawan Muslim Mesir yang akhirnya diusir dari Mesir karena pendapatnya) -- menulis bahwa al-Quran adalah produk budaya. Tulisan ini berbuntut "Fatwa Mati" bagi Ulil.
Sejak itu Ulil dijuluki gembong JIL (Jaringan Islam Liberal) yang paling berbahaya. Khotbah dan pengajian dibanjiri narasi anti JIL setara dengan anti Syiah. Bahkan ada yang menjuluki JIL sebagai "Jaringan Iblis Laknatullah." Walaupun tetap produktif dan kritis, namun Ulil akhirnya mengalami titik sepi. Komunitasnya terbatas pada kaum intelektual menara gading. Bahkan pada bursa pemilihan Ketua Umum PBNU, Ulil "didepak" karena sikapnya yang liberal dalam beragama. Padahal NU adalah rumah "megah" bagi tumbuhnya perbedaan pendapat, termasuk narasi liberal. Genre pemikiran Ulil sangat condong ke Barat.
Kesepian Ulil berlanjut walau ia telah bergabung ke Partai Demokrat. Sangat sulit menggaet konstituen dengan pemikiran Liberal. Umat islam lebih suka pemikiran Al-Ghazali dari pada Al Biruni, Ibnu Sina, Plato ataupun Aristoteles. Al-Ghazali menjanjikan kedamaian di Surga, sedangkan lainnya menjanjikan eksplorasi ilmiah tanpa batas (mikir terus bikin capek kali). Jejak sepi Ulil kembali terdeteksi saat ia tidak membela Ahok. Padahal syahadat kaum liberal senantiasa akan membela kebebasan berekspresi ala Ahok. Jika membela Ahok, Ulil akan semakin kesepian, bahkan di Partai Demokrat sekalipun.
Yang mengejutkan banyak orang, ketika Ulil menggelar pengajian on-line dan off-line kitab Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali. Terbukti pemahamannya terhadap teks keislaman klasik boleh dibilang istimewa, bahkan bisa dibilang jauh diatas para pengkritiknya. Sayapun beberapa kali mengikuti kajiannya . Walau akhirnya mandeg karena saya fakir kuota.
Tetapi yang patut dicatat adalah sepertinya Ulil telah "tobat" dari pemikiran Liberal. Kajian Ihya adalah bukti pertobatan tersebut. Alih-alih membangunkan umat dari "mantra" al-Ghazali, justru kini Ulil terbuai dengan kedamaian yang ditawarkan Al-Ghazali. (Atau Ulil tengah menjaring konstituen?). Lewat kajian Ihya, beliau ingin kembali kepada keluarga besar umat islam Indonesia yang fokus utamanya "mengejar kenikmatan surgawi," sedangkan duniawi mungkin sudah ditakdirkan milik asing dan aseng (walaupun istilah asing dan aseng kini dicemburui karena sering muncul dalam demo).
Pertanyaannya, dengan "tobat"nya Ulil apakah islam Indonesia akan jaya? Ataukah umat islam akan kehilangan pengkritiknya yang justru akan mengakibatkan matinya mesin dialektika, yang lantas menihilkan munculnya Baghdad baru?
Kesepiannya Ulil adalah pertanda, bahwa jalan pemikiran senantiasa tidak mudah, apalagi ditengah manusia yang lebih suka buaian dari pada olah pikiran. Apapun itu, Gus Ulil telah pernah mencoba, sekuat-kuatnya.
Adakah pengganti Ulil?
ULIL: NYANYI SEPI