Lihat ke Halaman Asli

Sunni Versus Syiah, dari Segmentasi Politik Menjadi Segmentasi Madzab

Diperbarui: 10 November 2015   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SUNNI VERSUS SYIAH

 DARI SEGMENTASI POLITIK MENJADI SEGMENTASI MADZAB

oleh : margono dwi susilo

 

Tulisan ini untuk anak-anakku. Dengan maksud agar mereka tahu bahwa bapaknya telah menuliskan sesuatu untuk persatuan jamaah muslim ditengah ujaran perpecahan dan kebencian yang menderu-deru. Sebenarnya saya bisa saja memilih ikut-ikutan menghujat karena itulah yang lagi nge-trend saat ini. Sunni yang berani menghujat syiah akan mendapat julukan sholeh dan lurus iman, begitu juga sebaliknya. Sedangkan yang mencari jalan tengah akan mudah sekali dituduh liberal, bunglon bahkan munafik.

Baiklah, saya akan mulai dari kutipan hadits yang begitu terkenal, hadits “Ghadir Kum.” Bagi kaum syiah hadits ini dijadikan bukti bahwa sebelum meninggal dunia, Rasulullah SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti beliau. Namun bagi kalangan sunni hadits ini dipahami sekedar sebagai bukti kecintaan Nabi SAW kepada Ali yang memang sepupu sekaligus menantu. Bunyi terjemahan kutipan hadits tersebut adalah, “Barangsiapa menganggapku sebagai paduka, ini Ali paduka bagi kalian juga. Barangsiapa mencintainya, mereka sungguh mencintaiku juga; Barang siapa memusuhinya, mereka sesungguhnya sedang memusuhiku juga.” Hadits tersebut dengan narasi yang berbeda-beda juga diriwayatkan oleh imam dan ulama Sunni, sebut misalnya Musnad Ahmad vol. 4/281, Sunan at-Tirmidzi vol. 5/297, al-Mustadrak ‘ala Shahihayni vol. 3/183, Muhammad Nashirudin al-Albani, Silsilat al-Hadits as-Shahihah vol. 4/343 no. 1750.

Permasalahan muncul saat menafsirkan kata “Maula.” Kaum syiah menterjemahkannya sebagai pemimpin, sedangkan kaum sunni sebagai kekasih. Terlepas dari perbedaan interpretasi, haruslah dipahami bahwa hadist dan peristiwa “Ghadir Kum” diakui kesahihannya oleh ulama sunni dan syiah. Bagi kalangan syiah peristiwa Ghadir Kum merupakan momen penting sehingga dirayakan sebagai hari raya Ghadir, perayaan yang menambah panjang perbedaan dengan sunni, karena sunni akan kembali mengolok, “hari raya umat islam itu hanya dua, idul fitri dan idul adha, menambah-nambah hari raya maka itu bukti mereka bukan islam lagi.” Silahkan anda browsing di internet, ada puluhan perbedaan sunni dan syiah, kebanyakan ditulis dengan nada agitatif, saling melemahkan.

Mahfum, jika politik mempunyai sudut pandang sendiri. Pendukung Ali (kelak disebut syiah) menggunakan hadist tersebut untuk mengklaim bahwa Ali yang paling berhak menggantikan Nabi SAW sebagai khalifah sepeninggal beliau wafat. Dari sini kita memahami pendapat kalangan syiah yang menyatakan upaya Umar bin Khatab menunjuk dan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama umat islam, yang kemudian diikuti oleh kaum muhajirin dan anshar,  sebagai kudeta politik. Inilah embrio kebencian syiah terhadap sunni. Namun pihak sunni memandang dengan tilikan yang berbeda. Sunni memuji Umar, karena menurut kelompok sunni, kaum muslimin memang tidak boleh seharipun mengalami kekosongan kepemimpinan. Sehingga menunjuk pemimpin yang definitif adalah mendesak, lebih mendesak dari penguburan jenazah Nabi SAW. Lagi pula sunni, yang direpresentasikan dengan sahabat, terutama Umar dan Abu Bakar, mungkin saja menganggap “Ghadir Kum” sama sekali tidak bermakna politik.

Jika memang klaim kaum syiah benar tentu agak mengherankan karena Ali sendiri tidak pernah secara tegas menggunakan hadits ini untuk menuntut jabatan kekhalifahan. Bukankah Ali dikenal sangat patuh kepada sabda Nabi? Namun sejarah mencatat beberapa pendukung Ali menggunakan hadits tersebut untuk memaksakan Ali sebagai khalifah. Bahkan Zubair bin Awwam dikisahkan sempat menghunuskan pedang, yang kemudian dilerai oleh Umar bin Khatab. Dari sini masalah mulai bergeser ke arah politik. Atau bahkan sesungguhnya ini politik belaka. Mari kita cermati.

Peziarah sejarah yang jeli tentu akan bertanya, mengapa Umar bin Khatab dan Abu Bakar begitu gigih menggagalkan pertemuan di Tsaqifah (tempat peristirahatan) bani Saadah yang akan melantik Saad bin Ubadah (pemimpin kaum anshar Madinah) sebagai pemimpin (khalifah/Emir) pasca Nabi wafat? Jawabnya jelas : paham kesukuan (tribalism worldview). Abu Bakar dan Umar yakin bahwa kepemimpinan harus jatuh kepada orang Mekah, suku Quraishy, orang-orang yang memang paling awal mendukung Nabi SAW, bukan orang Madinah, walau tentu orang Madinah berjasa besar saat menolong hijrah Nabi SAW. Ini bisa kita simpulkan dari statament Abu Bakar kepada orang Madinah yang berkumpul di Tsaqifah, “Emir dari kami, menteri-menteri (wazir) dari kalian.” Inilah bagi-bagi kekuasaan yang memang harus dilakukan untuk mencari kesepakatan ala Abu Bakar. Lalu Abu Bakar melanjutkan, “pilihlah Umar atau Abu Ubadah bin Jarrah.” Tetapi Umar justru mengajukan Abu Bakar. Baik Umar, Abu Bakar dan Abu Ubadah bin Jarrah adalah orang Mekkah suku Quraishy. Dan Abu Bakar akhirnya dilantik sebagai khalifah pertama setelah Nabi SAW wafat.

Tarikh Thabari (wafat 310 H, jilid 2, al-istiglal Kairo, 1939, hal-455-460) menceritakan pertemuan di Tsaqifah secara dramatis. Kaum anshar Madinah menegaskan, “kami telah memilih pemimpin, silahkan anda memilih pemimpin sendiri.” Umar menukas “demi Alloh dua pedang tidak akan bisa masuk dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda wahai kaum anshar, karena Nabi tidak berasal dari golongan anda.” Kata-kata Umar cukup jitu, dan orang-orangpun banyak yang percaya. Dari argumen Umar kita menambah suatu fakta : paham kesukuan sangat kental saat prosesi kepemimpinan awal islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline