Lihat ke Halaman Asli

Manunggaling Kawula Gusti

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

oleh : margono dwi susilo

Prolog :

Jika kamu beribadah mengharapkan surga

Maka sesungguhnya kamu mengharapkan fasilitas Tuhan

Jika kamu beribadah mengharapkan kemanunggalan

Itulah jalan kesempurnaan

Saat memulai tulisan ini saya teringat pada mantan bos saya di Bogor. Namanya M. Djalalain. Saat ini ia Kepala Kantor Wilayah salah satu Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan. Boleh dibilang beliau guru saya dalam banyak hal. Amal baiknya banyak, salah satunya membangun mushola kantor di Bogor. Mushola itu dibangun bukan dari dana APBN, tetapi dari sumbangan kaum muslim, terutama beliau. Begitu bangunan mushola selesai, mulailah tahapan ritual yang sederhana tetapi penting, yaitu pemberian nama bagi mushola kami. Beliau orangnya demokratis, sehingga dalam hal penamaan mushola pun ia menyebarkan angket penjaringan pendapat. Ada banyak usulan nama, seperti al-hidayah, al-barkah, mizan, al-kautsar dst. Saya mengusulkan dua nama, pertama “Mushola Amanah Dinar”, karena kami orang keuangan sehingga harus mampu menjaga amanah, terutama dalam hal dinar (baca : duit). Sedangkan nama kedua, ini agak aneh, “Mushola Manunggaling Kawula Gusti.” Nama usulan saya tidak dipakai, beliau hanya tersenyum pada saya. Akhirnya mushola kantor kami diberi nama Mushola Al-Ikhlas, sesuai pendapat terbanyak, tentu dengan maksud agar kami ikhlas dalam bekerja.

Bukan mushola yang akan saya bahas, tetapi idiom manunggaling kawula gusti (MKG). Bagi anda yang berasal dari Jawa tentu telah basah kuyup dengan idiom ini. Perkenalan saya dengannya telah cukup lama. Tetapi secara intelektual ada sebuah buku – yang walaupun tidak secara langsung mengupasnya– turut memperkaya bangunan pemahaman saya terhadap MKG. Buku tersebut, kalau tidak salah, judulnya The Tao of Islam, karangan Sachico Murata, orang Jepang. Sejatinya buku ini membahas kesetaraan gender dan kosmologi dalam islam. Salah satu bab dalam buku itu bercerita tentang “khazanah tersembunyi” yang bersandar pada Hadist Qudsi, yang artinya “Aku (Alloh) pada mulanya adalah harta/khazanah yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku". Hadis ini sangat populer di kalangan sufi dan dijadikan basis konseptual dalam memandang hubungan-hubungan kosmologis. Secara sederhana hadis ini bermakna bahwa Alloh ingin dikenal, oleh karena itu Ia menciptakan makhluk. Secara lebih jauh Murata kurang lebih mengatakan, “Tuhan bisa disebut Tuhan karena ada hamba, tanpa hamba maka tidak akan ada yang menyebut-Nya sebagai Tuhan.” Inilah konsep keseimbangan (tao). Ringkasnya : ada langit, ada bumi; ada tinggi, ada rendah; ada lelaki, ada perempuan; ada siang, ada malam; ada surga, ada neraka; ada Tuhan, ada hamba... dst.

Sampai disini tentu masih belumlah jelas bangunan “manunggaling kawula gusti.” Anda harus mengkombinasikan dengan hakikat makluk (hamba) yang paling mulia, yaitu manusia. Al-Qur’an secara lugas menjelaskan kemulian tersebut. Para teolog muslim dan Sufi sepakat bahwa kemulian tersebut ditentukan oleh adanya Ruh Alloh, yang ditiupkan oleh Alloh sendiri. Lihat misalnya QS.Al-Hijr : 29 dan Shaad : 72. Jadi singkatnya, dalam diri manusia ada “bahan baku” yang berasal dari Alloh, yaitu Ruh. Dengan ditiupkannya Ruh Ilahi, maka dalam diri manusia ada dimensi langit, yang merupakan dimensi ketinggian, sebagai pelengkap dimensi bumi yang dipresentasikan oleh aspek jasmaninya (fisik manusia tercipta dari tanah).Manusia adalah representasi langit dan bumi. Karena Adam mempunyai dimensi ketinggian (baca : Ilahiah) maka setan dan malaikat disuruh bersujud padanya. Malaikat menurut, Setan membangkang (QS.Al-Baqarah : 20-30), karena setan sombong dan tidak percaya kalau Adam mempunyai dimensiIlahiah.

Sejenak kita akan mendapati paradok : pada kesempatan lain Alloh telah menegaskan hanya diri-Nya-lah yang patut disembah, tetapi mengapa Alloh juga menyuruh malaikat dan setan bersujud (menyembah) pada Adam. Jangan-jangan sikap setan benar, oleh karenanya setan adalah penganut tauhid sejati. Jangan-jangan semua ini hanya tipuan, sebagaimana dunia ini adalah tipuan bagi orang beriman. Tentu tidak seperti itu. Menyikapi paradok ini ulama syariat berseberangan dengan Sufi. Bagi Sufi – tentu tidak semua Sufi – jawabnya jelas, karena Adam mempunyai dimensi keilahiaan, sehingga setan dan malaikat harus sujud. Sedangkan ulama syariat tidak sejauh itu, dengan mengatakan bersujud tentu berbeda sifat dengan menyembah.

Al-Qur’an dan Hadist sepakat bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Alloh berkehendak meniupkan ruh-Nya pada badan wadag manusia. Seluruh semesta diciptakan juga untuk manusia. Pada titik ini saya bisa memaklumi statement kontroversial pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama, “jika ada perbedaan pandangan antara teks agama dengan kemanusiaan maka anda harus memilih kemanusiaan.” Pandangan seperti Dalai Lama juga pernah dilakukan dalam praktek oleh Umar bin Khatab – khalifah rasyidin II, salah satu sahabat Rasul SAW yang dijamin masuk surga – tatkala membagikan wilayah pertanian taklukan pada pribumi setempat, padahal teks keagamaan menyatakan wilayah itu untuk pasukan muslim sebagai pemenang perang. Umar memilih kemanusiaan karena agama telah sepenuhnya menjadi milik manusia.

Para sufi dan mistikus percaya bahwa jasmani manusia hanyalah wadah bagi Ruh. Jasmani akan hancur, dan akan bangkit kembali sekedar untuk memberi saksi atas perbuatannya di dunia. Sedangkan Ruh kelak akan kembali pada asalnya, yaitu Tuhan. Lebih jauh lagi, para sufi dan mistikus meyakini bahwa penyatuan Ruh itu bisa terjadi didunia, tentu dengan cara dan laku khusus. Itulah alur berpikir sederhana konsep “sangkan paraning dumadi” (dari Alloh kita berasal dan kepada Alloh-lah kita kembali) dari Syech Siti Jenar, sebagai landasan awal kepercayaan MKG, awalan untuk lebih mengenal Alloh. Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Oleh karena itu cukup masuk akal jika Al-Halaj ataupun Siti Jenar berucap “Ana al-Haq” saat Alloh begitu dekat dengannya, lebih dekat dari urat lehernya.

MKG juga berhutang pemikiran pada paham wahdatul wujud (kesatuan wujud) dari Ibnu Arabi, yang mendeklarasikan “tidak ada wujud kecuali Tuhan, dan bahwa wujud selain-Nya hanya ada karena manifestasi wujud-Nya.” Manusia adalah manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Inilah konsep tajali. Bagi kita mungkin deklarasi ini omong kosong. Tetapi jika anda serius mengamalkan tarekat (tentu yang muktabaroh), dan jika anda dipilih oleh Tuhan, anda akan menyaksikan lenyapnya dunia materi berganti dengan gemerlapnya Cahaya Maha Cahaya. Itulah saat kasyaf (tersingkapnya tirai kawula-gusti). Banyak narasi, syair dan puisi sufistik tentang hal ini. Apakah semua bualan belaka? Sampai saat ini saya punya pendapat : lebih indah untuk mempercayai.

Paham wahdatul wujud ini mirip dengan pantheisme yang diamini oleh umat hindu. Baik paham wahdatul wujud maupun pantheisme percaya bahwa penciptaan semesta dilakukan dengan cara emanasi. Jadi singkatnya begini, Tuhan itu seperti matahari, sinarnya memancar ke segala penjuru. Dalam setiap pemancaran itu terbentuklah alam semesta, termasuk manusia dan binatang. Dalam tradisi hindu binatang-pun punya cahaya ketuhanan, terutama sapi, tunggangan dewa-dewi.

Namun wahdatul wujud juga menyimpan kepelikan, terutama jika dikaitkan dengan rukun iman percaya pada hari akhir. Untuk apa diciptakan surga dan neraka jika memang tujuan utama manusia adalah untuk “bersatu” dengan-Nya? Jika memang perspektif kesatuan wujud ini yang kita pakai, bukankah kekekalan surga dan neraka itu justru menyangkal keesaan Tuhan, sebab jika ada kebahagiaan atau siksa kekal – yakni surga dan neraka – berarti ada dua entitas yang kekal, yaitu Alloh dan hamba yang berada di surga/neraka. Mau tidak mau surga/neraka sebagai makhluk (ciptaan) juga akan berstatus kekal. Ini berarti Tuhan Alloh bukan satu-satunya yang Maha Kekal. Sementara jika kita menganggap surga/neraka tidak kekal maka sama saja mengingkari teks Al-Qur’an. Jika memang kesatuan wujud adalah paham yang benar, untuk apa kita dijanjikan surga dan neraka? Bukankah dalam hal ini doktrin moksha dalam ajaran veda lebih masuk akal? Bagaimana ini?

Kita menganggap bahwa ada dua alam yang terpisah, yaitu alam dunia dan alam akherat. Alam akherat – secara sederhana – adalah surga dan neraka itu sendiri. Bagi kaum arifin atau sufi, pembagian ini adalah ilusi, sebab pada hakekatnya tidak ada dua wujud. Wahdatul wujud bukan sekedar doktrin, tetapi wawasan dan pengetahuan spiritual. Oleh karenanya konsep surga dan neraka harus dipahami dalam pemahaman spiritual. Lebih jauh, untuk memecahkan masalah ini, ulama tasawuf, dengan mengacu pada Qur’an (Ar-Rahman : 46 dan 62), mengatakan ada dua pasang surga. Surga pertama untuk orang mukmin biasa, sedangkan jenis kedua adalah untuk para muqarrabun -- seperti nabi, wali, sufi -- surga jenis kedua ini tak lain adalah Alloh sendiri. Ini tentu belum selesai, terus bagaimana dengan surga jenis pertama, surga untuk orang mukmin biasa seperti kita? Terjalin hubungan misterius antara alam dunia dan alam akherat. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasul SAW bermimpi, dalam mimpi tersebut Rasul mendengar langkah tapak kaki Bilal di surga. Nah saat itu Rasul SAW masih hidup dan Bilal juga masih hidup. Jadi, dalam pengertian tertentu, sekali lagi tertentu, surga bukan “di sana” tetapi “di sini (baca : hati).”

Waduh, kalau surga itu ada “dihati”, terus bagaimana dengan janji surga dan neraka yang kekal di akherat kelak? Bagaimana dengan nasib bidadari surga? Kesepiankah? Sampai di sini akal manusia buntu. Uraian apapun tidak akan memadai. Al-Qur’an telah menjelaskan gambaran ringkas surga, tetapi yang jelas surga sejati tetap tidak terbayangkan. Saat akal buntu maka sesungguhnya Alloh telah memberikan jalan keluar yang hanya bisa dialami oleh orang terpilih, itulah jalan MKG. Saya bisa mendiskripsikan tentang api kepada anda; warnanya, sifatnya, suhunya dan seterusnya. Tetapi pemahaman api itu tetap tidak memadai sebelum anda lebur ke dalam api. Pada saat anda melebur kedalam api (baca : api cinta Ilahi) pada saat itulah terjadi MKG. Pada saat terjadi manunggaling, maka pertanyaan tentang api, cinta, surga dan neraka tidak diperlukan lagi.

Tentu yang menjadi masalah adalah apakah konsep MKG ini direstui syariat? Saya tidak mau terjebak pada perdebatan yang telah berusia seribu tahun lebih. Akan saya ringkas saja kisah Musyawarah Burung yang ditulis oleh Fariduddin Attar. Kisah ini penuh perlambang, panjang dan berat. Tetapi ringkasnya :

“Dalam sebuah pertemuan besar para burung, Hudhud – salah satu jenis burung -- menawarkan pada masyarakat burung agar melakukan perjalanan menemui raja burung yang bernama Simurgh. Tetapi sebagian besar burung melontarkan banyak dalil dan alasan untuk menolak. Akhirnya Hudhud harus bersusah payah menjelaskan hal tersebut kepada masyarakat. Singkat cerita akhirnya jutaan burung melakukan perjalanan menuju kerajaan Simurgh. Mereka harus melalui tujuh lembah berbahaya : lembah pencarian, lembah cinta, lembah makrifat, lembah kepuasan hati, lembah keesaan, lembah ketakjuban, lembah kefakiran dan bermuara pada lembah pelenyapan. Dalam setiap lembah banyak burung yang gagal. Akhirnya hanya 30 ekor yang sampai ke istana Simurgh. Bagian terakhir ini sungguh mengejutkan, ketika 30 ekor burung itu merasa tenang duduk di kursi agung dan mulia, mereka tak tahu lagi apakah masih menjadi diri mereka atau telah menjadi sang Simurgh. Merekapun bertafakur. Dalam hening masing-masing melihat diri mereka ada pada Sang Simurgh, dalam satu kesatuan. Ketika burung-burung itu meminta dipaparkan rahasia yang ajaib ini sang Simurgh berkata : “bila kalian melintasi lembah-lembah rohani, melakukan kewajiban yang baik maka kalian akan mampu melihat hakikat dan kesempurnaanKu. Akulah Simurgh sejati, maka leburkan diri kalian dalam diriKu dengan jaya dan gembira, dan dalam diri-Ku kalian akan menemukan diri sendiri. Akhirnya 30 burung meniadakan diri dalam diri Sang Simurgh.” Tancep kayon.

Bagaimana penjelasan soal ini. Bagi para bijak ini bukan masalah 7 lembah, ataupun 30 burung. Ini bukan soal kuantitas. Ini adalah soal jalan kesejatian. Attar sengaja memilih 30 burung, bukan 100, 1000 atau 9 atau 10, karena angka selalu relatif. Hanya 30 burung yang sampai pada Simurgh adalah perlambang bahwa hanya orang yang menggenggam – lahir batin – 30 juz Al-Qur’an yang akan sampai pada kesatuan dengan Tuhannya. Muhammad SAW adalah orang pertama, tatkala Jibril tidak mampu.

Epilog :

Aku termenung. Yah, Al-Qur’an! Aku ingat Al-Qur’an yang teronggok di sudut rak buku, terselip diantara buku-buku tebal filsafat, politik, psikologi, sastra dan sebagainya. Al-Qur’an hanya sesekali kubaca, bahkan saat ramadhan ini. Ya Alloh, mengapa aku melalaikan jalan agung ini?

Saya termasuk liberal dalam pemikiran agama, tetapi malam itu air mata ini tumpah ruah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline