Lihat ke Halaman Asli

Sutasoma: Melihat Sisi Berbeda Manusia

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : margono dwi susilo

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

(Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,

Mereka memang berbeda,

tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Berbeda-bedalah itu, tetapi satu jualah. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.)
(Kakawin Sutasoma/Purosadhasanta Karya Mpu Tantularpupuh 139 bait 5)

**********

Sejak dinobatkan menjadi raja Ratnakanda, Jayantaka membuat gebrakan dengan mengeluarkan dekrit. Isinya : konstitusi negara dibekukan dan sebagai ganti diberlakukan hukum agama. Jayantaka bertekad memperbaiki kondisi negara yang porak poranda dengan memberlakukan hukum agama. Menurutnya konstitusi kerajaan tidak sanggup lagi mengendalikan situasi karena sekecil apapun langkah seorang raja haruslah mendapat persetujuan dewan kerajaan yang justru merupakan sarang koruptor. Dewan inilah yang akan ia tertibkan terlebih dahulu, setelah itu barulah kerabat istana, pejabat tinggi, lalu pejabat penting di daerah-daerah.

Dekrit Jayantaka mendapat perlawanan keras terutama dari dewan kerajaan dan kerabat sendiri. ”Ananda Prabu, ketahuilah,” ucap Ibu Suri dengan nada kecewa, “ meninggalkan hukum warisan leluhur yang telah mendarah daging dan mengambil hukum agama yang berasal dari negeri orang akan menghancurkan roh kerajaan. Agama adalah masalah yang sungguh individu dan batini sehingga tidak selayaknya menelusup ke ruang kerajaan karena justru akan menodai kesucian agama itu sendiri. Dengan menggunakan dharma agama akan memancing penolakan dari orang-orang yang berbeda agama dan aliran. Ananda Jayantaka harus ingat, sebagai raja Ananda harus mengayomi semua pemeluk agama dan aliran. Dengan mengangkat salah satu agama sebagai hukum tata pemerintahan akan melahirkan iri dan fitnah.”

Dibelahan dunia lain kondisi tidak jauh berbeda. Jaman kaliyuga. Tak terkecuali di Negeri Hastina. Rakyat Hastina bertambah gundah manakala sang putra mahkota, Sutasoma, lebih suka mencari kebijaksanaan hidup dengan berkelana dari padepokan ke padepokan, dari kuil ke kuil mencari para penutur kebijaksanaan dari pada belajar ilmu ksatria dan tata pemerintahan. Ia telah mengisyaratkan menolak menjadi raja. Bagi Sutasoma, keinginan itu hanya satu yaitu tidak punya keinginan. Prinsip pemadaman ini begitu tulus ia terapkan sehingga mengundang decak kagum para pemujanya. Tidak hanya sampai disitu, untuk mencapai maksudnya, Sutasoma dengan diiringi para pertapa melakukan tetirah panjang menuju puncak Mahameru. Puncak keheningan.

Arkian, Sri Mahaketu, Raja Astina, tetap tak habis pikir dengan jalan hidup Sutasoma. Padahal brahmin istana, Munindra, telah meramalkan bahwa kelak anak inilah yang akan mengembalikan kejayaan Hastina bahkan memberi cahaya bagi semesta. Tetapi apa jadinya sekarang. Sutasoma tak ubahnya gelandangan yang mencari jalan hidup aneh. Menebarkan janji kebahagiaan bagi semua makluk, namun dengan cara yang tidak masuk akal, pemadaman keinginan. Bukankah kebahagiaan akan bisa tercapai jika manusia punya hasrat, keinginan, cipta, rasa dan karsa, bukannya pemadaman keinginan seperti itu. Hastina bisa besar seperti sekarang ini karena para raja pendahulu punya dharma yang jelas. Punya visi dan misi yang jelas. Punya keinginan yang jelas. Bahkan untuk bisa mencapai kejayaan seorang raja haruslah mempunyai ambisi kalau perlu kekejaman. Itulah dharma seorang ksatria. Sutasoma berdarah ksatria tetapi telah mengingkari dharmanya. Karenanya Sri Mahaketu dan rakyat Hastina bersedih, pertanda jaman kaliyuga akan semakin pekat.

Minggu pertama dekrit, kerajaan benar-benar kacau. Harga bahan pokok melambung. Layanan publik berhenti. Demonstrasi dan kerusuhan terjadi dimana-mana. Bahkan diseantero kerajaan terjadi pembunuhan misterius. Wilayah timur kerajaan mengancam melepaskan diri dari Ratnakanda. Situasi ini membuat Jayantaka gamang. Apalagi mendapati para panglima prajurit kerajaan yang terbelah sikap, antara mendukung dan menolak dekrit. Kondisi ini dimanfaatkan oleh dewan kerajaan untuk mengeluarkan mosi tidak percaya kepada raja. Rencana pembunuhan Jayantaka sudah menjadi bisik-bisik dilingkungan istana. Nasib raja dan negara diujung tanduk.

Disaat Jayantaka tertunduk lesu di singgasana datanglah rombongan yang dipimpin oleh seorang pendeta. Dengan berpakaian serba putih khas aliran agamanya, rombongan itu menguatkan hati Jayantaka. “Paduka telah bertindak bijaksana. Dengan menerapkan hukum agama pada tata pemerintahan berarti paduka telah merangkul kembali dewata agung untuk ikut memperbaiki kerajaan. Berkah dan perlindungan akan senantiasa Paduka peroleh. Kami akan membantu agar apa yang tuanku dekritkan menjadi kenyataan, dan Ratnakanda akan kembali menjadi negeri yang diberkahi. Kemakmuran akan terjadi di Ratnakanda bahkan seluruh penjuru mata angin.”

Tanpa jeda pendeta terus bertutur, “Paduka juga tahu, selama ini agama hanya digunakan untuk melengkapi upacara-upacara kerajaan. Tuhan dipuja pada saat sembahyang, tetapi segera ditinggalkan karena dianggap menghalangi ambisi duniawi. Agama hanyadipakai sebagai pelindung dan tempat bersembunyi dari tingkah laku yang menjijikkan. Orang berderma bukan karena alasan belas kasih tetapi agar orang segan mempermasalahkan kasus korupsinya. Kinilah saat yang tepat bagi agama untuk ditempatkan pada kedudukan yang sebenarnya. Sebagai hukum dan pengatur tingkah laku manusia.”

Jayantaka mendapat kekuatan dari ucapan pendeta. Ia yakin bahwa sesungguhnya pembela dharma agama cukup banyak. Hanya saja saat ini mereka telah terbujuk untuk mengikuti kehidupan yang penuh dengan keserakahan duniawi. Atau saat ini mereka masih ragu untuk menentukan sikap. Jika saja ia mampu menjalankan dharma agama untuk membawa keadilan dan kemakmuran Ratnakanda, pastilah pendukung dharma agama akan berlipat. Bisa jadi semua penjuru bumi akan mengikutinya. Ia akan dikenang sebagai satu satunya raja yang menegakkan hukum agama dalam pemerintahan, disaat semua cerdik pandai mengatakan mustahil mengganti konstitusi negara.

“Saya beserta murid-murid rela menjadi benteng bagi upaya Paduka menegakkan dharma agama. Jikapun harus mengorbankan darah kami telah siap karena bagi kami tidak ada pengorbanan paling mulia selain demi agama. Untuk menguatkan hati hendaklah Paduka melakukan upacara pemujaan terhadap Sang Hyang Kala -- sebagai perwujudan terkuat dari Dewa Siwa -- agar upaya mulia paduka mendapat restu dari sang pemilik waktu. Di dunia ini banyak sekali ajaran agama bahkan dalam setiap agama masih ada aliran dan perbedaan pendapat. Paduka harus mengambil salah satu aliran agama yang paling murni dan mempunyai dasar paling kokoh. Paduka harus ingat bahwa hanya satu dari sekian banyak aliran itu yang akan diterima Tuhan. Oleh karenanya hanya satu dharma agama yang layak menjadi hukum bagi pemerintahan Paduka. Menurut pemahaman saya hanya Sang Kala yang paling lurus, objektif dan adil sebagai agama, karena Sang Kala tahu dari awal sampai akhir kejadian sehingga ajarannya yang paling kokoh dan otentik. Hanya itu saran saya Paduka.”

Jayantaka tersenyum. Niat sucinya mendapat dukungan. Tanpa menunggu lama, dengan disertai Pendeta dan cantrik-cantriknya Jayantaka berkaul kepada Kala bahwa ia akan mempersembahkan seratus kepala raja kepadanya. Saat Jayantaka mengucapkan sumpah, gelegar petir membelah langit malam. Pertanda alam seisinya menjadi saksi akan kesungguhan niatnya.

Jayantaka tahu persis, untuk meminta ketundukan 100 kerajaan, ia harus membereskan urusan dalam negeri. Dibentuklah pasukan khusus sivabela yang direkrut dari orang-orang yang fanatik terhadap dharma agama. Reformasi hukum harus didukung oleh orang-orang yang loyal, tanpanya mustahil reformasi bisa berjalan. Dengan cepat sivabela ada dimana-mana. Militer kerajaan yang pertama diperbaiki. Para Senopati yang kurang antusias dengan dharma agama dicopot. Para prajurit dididik ulang dengan doktrin dan semangat baru.

Dharma agama memberikan energi yang berlipat untuk usaha penaklukkan. Perjuangan demi agama memang berbeda dengan sekedar penaklukkan wilayah. Sukses gemilang menjadikan mereka percaya telah berada dijalan yang benar. Bahkan sebagian dari mereka mulai mendendangkan slogan anti pluralisme : “Hukum harus satu, selayak mataharipun satu.” Dunia kini, terutama para penguasa, resah menghadapi doktrin keras kaum agama. Pemaksaan hukum agama terjadi disetiap gerak penaklukan Ratnakanda. Rakyat negeri taklukkan yang semula hanya menonton, kini dibuat gundah karena pemaksaan penafsiran tunggal hukum agama. Para pendeta yang berbeda agama dan aliran merasa selalu diawasi dan dicibir dalam melakukan upacara-upacara. Tanpa disadari kini tercipta kelas-kelas sosial yang ditentukan oleh pembedaan agama dan aliran. Yang paling terkekang adalah perempuan, karena kini mereka harus dikurung dalam dogma moralitas yang ambigu. Karena kondisi yang meresahkan ini banyak kaum ksatria dan brahmana yang berpaling kepada Sutasoma. Mereka mengirimkan utusan untuk mencari Sutasoma. Tetapi Sutasoma justru memberi khotbah tentang hakikat kebahagiaan, seolah pengembaraan spiritualnya tumpul menghadapi ekspansi dharma agama. Ataukah dharma agama yang memang hendak dituju oleh Sutasoma? Para pendeta dan rakyat kini bingung, siapa yang hendak dijadikan panutan. Jayantaka yang terbukti mampu memakmurkan dunia, walau dengan penerapan keras terhadap hukum dan tingkah laku, ataukah kepada Sutasoma, orang suci yang sepertinya tidak perduli pada tertib duniawi?

Akhirnya, dalam tempo cepat Jayantaka telah berhasil menaklukkan 100 kerajaan dan menyerahkan 100 raja kepada Sang Hyang Kala. Tetapi Kala sama sekali tidak acuh dengan persembahan tersebut. “Wahai Jayantaka, aku akan menerima persembahanmu jika kamu mampu menyerahkan Sutasoma kepadaku, jika kamu tidak berhasil aku akan mencabut perlindungan terhadap kerajaanmu.”

Jelaslah kini apa yang diinginkan Kala : Sutasoma. Jayantaka girang, Sutasoma bukan target yang sulit. Seratus Raja menjadi bukti bahwa ia dan Ratnakanda bisa melakukan apa saja.Apalagi ia kini didukung oleh kaum agama yang sangat fanatik. Sutasoma, tunggu ajalmu. Seketika pasukan Ratnakanda berderap menuju Hastina.

Tanpa perlawanan Sutasoma ditangkap dan dipersembahkan kepada Sang Hyang Kala yang seketika menelan Sutasoma. Tetapi apa daya, keperkasaan Kala tidak cukup mampu mengatasi Sutasoma. Dengan takzim Sutasoma berujar : “Paduka akan mudah menelan saya manakala 100 raja dibebaskan.” Kata-kata itu begitu bening menggetarkan alam semesta. Seketika Jayantaka takjub karena ternyata Sutasoma adalah Sang Jina (Budha). Belum hilang kekaguman Jayantaka, kini ia semakin terpesona karena Sutasoma memancarkan cahaya seterang Siwa. Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa . Mereka memang berbeda dan bisa dibedakan tetapi hakekat kebenarannya adalah sama. Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Belenggu yang mengikat 100 raja putus seketika.

Semenjak kejadian itu Jayantaka menjadi gamang, ia menimbang kembali langkah dan karyanya selama ini. Seratus raja, seratus kerajaan. Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, keamanan yang mantab, hukum ditegakkan, perluasan wilayah serta banjir upeti. Yang paling penting agama ditempatkan pada tempat yang mulia. Rakyat Ratnakanda mengalami masa keemasan. Tetapi kenapa ia belum merasa tenteram dengan capaiannya. Justru kini bayangan Sutasoma memenuhi kalbunya. “Belawa, apa menurutmu langkah kita selama ini sudah tepat? Penasihat itu menjawab, “ampuni hamba tuanku, hamba hanya seorang pemburu, tidak fasih menjawab hal rumit yang demikian. Tetapi memang hamba menyadari kini banyak pihak yang menentang paduka. Hamba merasa paduka telah memahami kitab suci tetapi belum memahami tentang manusia. Manusia itu berbeda-beda paduka, apalagi soal rasa dan agama.”

Jayantaka mendengarkan dengan takzim ujaran Belawa...” Hamba merasa paduka telah memahami kitab suci tetapi belum memahami tentang manusia. Manusia itu berbeda-beda paduka, apalagi soal rasa dan agama.” Berkali-kali kalimat itu menderu dihati Jayantaka membawa ketentraman. Kini ia tahu langkah yang lebih baik.... Tancep Kayon.

Epilog :

Sinkretisme agama Hindu-Budha (Siwa/Kala dan Sutasoma/Jina/Budha)-- Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa--dijadikan landasan persatuan pada masa keemasan Madjapahit.Selanjutnya Seloka“Bhineka Tungga Ika” dipungut oleh Muhammad Yamin dan disetujui menjadi semboyan NKRI, sampai saat ini. Akankah semboyan ini bertahan?

Catatan : terima kasih kepada Mpu Tantular dan Cok Sawitri




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline