Lihat ke Halaman Asli

"Suta Naya Dhadhap Waru", Nama Manusia Jawa yang Berpijak pada Tanah dan Tumbuhan

Diperbarui: 30 Maret 2017   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peluncuran buku "Suta Naya Dhadhap Waru" (SNDW) karya Iman Budhi Santosa (IBS) beberapa hari yang lalu, Sabtu (25/3) di taman Budaya Yogyakarta, rupanmya menjadi catatan berharga bagi saya. Apalagi jauh sebelum itu saya telah banyak membaca tulisan-tulisan IBS baik berupa  puisi, geguritan (puisi dalanm bahasa Jawa), esai (artikel, opini) yang diungkapkan melalui berbagai media maupun forum. Buku tersebut berbicara mengenai potret manusia Jawa yang belajar pada tumbuhan. Renville Siagian, sahabat IBS,  dalam tulisan pembuka buku SNDW menyitir ungkapan William Shakespeare "What's in a name?" (Apalah arti sebuah nama?). Pertanyaan inilah  yang memicu IBS mencari asal-usul pemberian nama desa di Jawa menggunakan nama tumbunhan.

Sebelum membahas buku SNDW barangkali perlu kiranya mengenal sosok IBS melalui tulisan-tulisannya. Di tahun 2000-an, beliau banyak bercerita (menulis) secara simbolik kisah-kisah pewayangan (Cupu Manik Hasthagina, Kumpulan Puisi Wayang, 2015). Cerita-cerita semacam inilah yang agaknya masih asing (sulit dicerna) maknanya  bagi anak muda sekarang, kecuali dengan membaca kisah cerita lengkap sebelumnya. Keprihatinannya pada tanah Jawa (dianggap mati), tercermin dalam karya puisi Ziarah Tanah Jawa (2009). Beliaupun juga banyak bercerita tentang Yogyakarta (bagian dari tanah Jawa), tempat beliau ditempa menjadi penulis tak kenal lelah dan pantang menyerah. IBS, lelaki kelahiran Magetan tahun 1948, kini merasa lahir kembali di Yogyakarta. Seperti yang beliau ungkapkan dalam puisi "Di Pangkuan Yogya" (2011), Pemenang II Lomba penulisan Puisi Jogja Erna Literary Foundation 2012. Pembelaan IBS terhadap nama Yogyakarta tertulis dalam salah satu artikelnya berjudul "Yogyakarta, bukan Jogjakarta" (Mbongkar Yogya, 2016) menegaskan kepada kita bahwa beliau sangat menghargai asal-usul nama, apalagi nama yang dipakai bermakna baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline