Saya dibesarkan di sebuah kota yang ramai, kota yang menjamin kehidupan banyak orang dan segala sesuatunya dapat ditemukan disini. Cafe menjadi tempat pertemuan rutin kami, berdiskusi tentang berbagai hal termasuk politik. Suara-suara yang berbeda saling bergantian, tetapi selalu diakhiri dengan tawa dan rasa persaudaraan yang saling mengikat satu sama lain. Kami meyakini kekuatan suara rakyat dan pentingnya partisipasi dalam membangun negara.
Namun, seiring berjalannya waktu, suasana tersebut secara perlahan-lahan mulai berubah. Diskusi politik yang dulunya meriah kini terasa lebih kaku dan terpecah. Media sosial yang kini semakin canggihan dengan algoritma cerdasnya semakin memisahkan kita ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan pandangan yang berbeda. Berita palsu dan ujaran kebencian menyebar bebas, mengaburkan kebenaran dan menimbulkan permusuhan satu sama lain. Memahami demokrasi pemilihan kepala daerah tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi, melainkan harus seimbang antara isi dan cara pelaksanaannya, karena pemilihan ini tidak hanya merupakan sebuah acara atau ritual politik, tetapi juga menjadi arena persaingan antara berbagai kekuatan politik di masyarakat. Hubungan antara proses politik dalam pemilihan kepala daerah dan berbagai pilihan kebijakan publik terletak pada janji politik yang diusung oleh kandidat terpilih dalam dokumen perencanaan daerah.
Cita-cita yang ditetapkan dalam visi misi seharusnya bukan hanya sekedar angan-angan, tetapi haruslah praktis dan sesuai dengan sumber daya yang ada untuk diwujudkan serta dilaksanakan, agar masyarakat dapat merasakan langsung keuntungan dari pemilihan mereka sebagai Kepala Daerah. Tidak peduli apakah seorang Kepala Daerah berasal dari kalangan birokrasi, dunia usaha, atau politik, yang terpenting adalah memiliki komitmen untuk memenuhi visi misi sebagai bagian dari janji politik, karena pelanggaran janji dalam dunia politik bukanlah hal yang hanya terjadi di Indonesia.
Yang terjadi di kota ini misalnya, muncul banyak janji janji politik yang diusung Kepala Daerah sewaktu masih berstatus Calon Kepala Daerah seperti penanganan banjir dan parkir liar yang masih menjadi penyakit masyarakat dan lingkungan. Realitanya setelah terpilih dan menjabat kedua permasalahan ini masih menjadi penyakit tahunan masyarakat dan lingkungan. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat dikarenakan periode kerja yang dijalankan Kepala Daerah selama 5 tahun, tidak memberikan perkembangan yang positif terhadap kedua permasalahan ini, dan kebijakan kebijakan yang dijalankan terkait permasalahan ini tidak berjalan efektif dan malah menjadi pemborosan anggaran saja. Kejadian kejadian seperti ini akan terus menumpuk amarahan masyarakat yang nantinya akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah, Juga sejatinya dalam kontestasi Pilkada tahun tahun yang akan datang masyarakat akan enggan untuk memilih calon Kepala Daerahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H