Lihat ke Halaman Asli

Ulasan Novel "Menepati Janji"

Diperbarui: 14 Maret 2021   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mira Widjaja adalah seorang penulis novel asal Indonesia yang biasanya menulis novel bergenre roman, kriminal, maupun kehidupan yang berhubungan dengan rumah sakit. Sebelum ia menjadi penulis, ia berprofesi sebagai seorang dokter. Ia lahir pada tanggal 13 September 1951 di Jakarta. Ia merupakan anak kelima dari lima bersaudara. 

Bakat menulisnya sudah mulai terlihat ketika ia masih duduk di bangku SD dan ia sudah mulai mengirim beberapa karya yang sudah ia buat ke beberapa majalah anak. Beberapa karya yang sudah ia buat adalah Benteng Kasih, Dokter Nona Friska, Sepolos Cinta Dini, Cinta Tak Pernah Berhutang, Di sini Pertama Kali Bersemi, dan Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. 

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji adalah sebuah novel yang diterbitkan oleh PT. Gramedia pada tahun 1999. Memiliki ketebalan 18 cm dan berjumlah 192 halaman. Novel ini bertema religiusitas, kekeluargaan, pertemanan, dan percintaan. Namun, percintaan yang disajikan tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan dengan ketiga tema lainnya. 

Novel ini mengisahkan mengenai seorang perempuan bernama Maria yang hanya tinggal berdua bersama ayahnya yang bernama Pak Handoyo. Ia dididik dengan keras oleh ayahnya sendiri. Ketika ia bersekolah di salah satu SMA di Jakarta, teman-teman sekelasnya mengejek dan mengolok karena ia tidak tahu bagaimana caranya bergaul serta masih belum memiliki pemikiran layaknya seorang remaja. Hal itu terjadi karena sejak kecil ia tidak pernah disekolahkan oleh ayahnya. Ayahnya hanya memanggil guru untuk mengajarinya di rumah. Hal itu yang membuat Maria tidak bisa mengerti akan keras dan luasnya dunia di luar.

Ayah Maria adalah mantan pastor sedangkan ibunya adalah mantan suster. Mereka berdua memilih untuk mengundurkan diri lalu menikah. Tak disangka, Maria kehilangan ibunya ketika ia lahir dan hal itu yang membuat ayahnya merasa sangat berdosa. 

Oleh karena itu, ia bersumpah kepada Tuhan agar anaknya akan dipersembahkan kepadaNya. Maka dari itu, Maria selalu diajari untuk selalu takut akan Tuhan dan ia harus menjadi biarawati kelak. Namun, ayahnya mendidiknya dengan kurang baik. Ia kasar, sering menghukum Maria apabila ia berbuat salah dengan dipukul, dan tidak memperkenalkan dunia luar kepada Maria. Maria bahkan tidak memakai bra saat pergi ke sekolah dan tidak mengerti tentang haid.

Maria dilarang untuk bergaul dengan laki-laki sehingga ia disekolahkan di sekolah khusus perempuan. Namun ketika ia sedang bertanding voli di sekolahnya, ia bertemu seorang laki-laki bernama Guntur. Awalnya Guntur hanya iseng mendekatinya karena penasaran akan Maria yang kurang pergaulan dan dianggap aneh. Lalu, muncullah berbagai macam konflik yang menimpa kehidupan Maria.

Mira Widjaja atau biasa dipanggil Mira W. telah mengemas cerita ini dengan cukup baik. Banyak hal yang bisa dipetik dari cerita ini. Ia telah menggambarkan cerita secara realistis, bisa dilihat dari kehidupan Maria yang dikekang oleh ayahnya sendiri. Banyak anak yang dikekang oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa ajaran mereka adalah hal yang paling benar. Padahal, hal tersebut tidak membuat anak senang dan mereka merasa tertekan.

Maria selalu mengikuti apa yang ayahnya inginkan sehingga ia tidak bisa mengutarakan pendapatnya sendiri. Ia sampai bertanya kepada dirinya sendiri yang tertulis pada halaman 54 dari novel tersebut, "Sejak lahir, Ayah telah menyerahkan diriku kepada Tuhan. Sejak lahir hidupku  telah ditentukan. Nasibku  telah diatur. Jalanku telah digariskan. Dan semua itu menuju ke satu titik. Biara. Benarkah aku tidak punya hak untuk memilih? Benarkah tidak ada pintu lain untukku?" Selain itu, ada pula hal yang menggambarkan kekecewaan Maria terhadap ayahnya pada halaman 122, "Ayah tidak pernah menanyakan kehendakku. Padahal kata Suster Cecilia, semua manusia punya kehendak bebas. Semua manusia."

Oleh sebab itu, seharusnya ayahnya tidak terlalu kaku akan anaknya sendiri dan membiarkan anaknya untuk bisa melakukan apa yang ia inginkan, tentu dengan pengawasan darinya. Namun, setiap orang memiliki haknya masing-masing untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Larangan yang diberikan sudah sangat parah. Anak bisa merasa takut, kecewa, dan sedih akan perlakuan itu.

Beberapa kata yang terdapat dalam novel ini cukup vulgar. Kata-kata tersebut memuat hal-hal berbau dewasa seperti bahasa yang cukup kasar dan benda-benda yang kurang cocok untuk anak-anak baca, contohnya adalah bra. Lalu, contoh dialog yang cukup vulgar terdapat pada halaman 17, yaitu "Dengan lancang Tina meraih tangan Maria dan meletakkannya di dada Tina, "Raba deh, Mar! Biar lu nggak norak lagi!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline