Lihat ke Halaman Asli

Carut-Marut SDM, Sandungan "Universal Coverage" 2019

Diperbarui: 15 Mei 2019   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1414858760339417769


“JKN rampung 2019? mustahil!”. Itulah tanggapan seorang pendidik di sesi kelas yang saya ikuti. harapan ini masih jauh nampaknya, melihat performa Jaminan Kesehatan Nasional (baca: JKN) saat ini. Seperti diketahui, JKN terlahir prematur! menurut seorang Ahli Kebijakan kondisi ini bukanlah masalah, “ibarat perahu, disempurnakan sambil berlayar” ujarnya. Apa iya, kapal yang belum sempurna bisa berlayar? Jangan-jangan ditengah perjalanan, kapal justru akan karam dan tenggelam!, hal ini bisa saja terjadi dengan JKN, apalagi dalam waktu dekat Presiden Jokowi akan meluncurkan kartu Indonesia Sehat (baca: KIS), kemungkinan dua: JKN dan KIS bisa jalan seiring saling melengkapi, atau bisa jadi JKN terlindas oleh KIS, dan mati!. 

JKN merupakan “produk cloning” Asuransi Kesehatan Nasional (baca: AKN) yang sudah lebih dulu diterapkan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Tidak salah bila kita meniru sistem yang memang sudah terbukti bagus dan dapat membawa kebaikan untuk rakyat. namun yang menjadi masalah kita mengekor sebagian sistem produk yang hampir gagal, Alamak!. Disebut-disebut JKN mirip dengan Obama Care (baca: OC). berdasarkan hasil studi di Massachusets: ditemukan banyak kekurangan dan banyak yang tidak puas dengan OC (sumber: Dunlop, 2014). Karena OC pula, kredibilitas Presiden Obama menurun hingga 40%! (sumber: JKN, Hasbullah T). 

Lantas bagaimana performa JKN setelah berjalan 10 bulan?? disini penulis akan mencoba mengulas JKN berdasarkan beberapa kejadian aktual dilapangan dilihat dari perspektif SDM.

KETIKA HARAPAN TAK SESUAI KENYATAAN

Mulai dari antrian layanan hingga pingpong pasien!

Sejak diluncurkannya JKN, jumlah pasien di fasilitas kesehatan meningkat tajam, sehingga pasien menumpuk. Pasien harus mengantri lama untuk mendapatkan pelayanan, Overload pasien membuat kualitas pelayanan buruk! banyak fasilitas Kesehatan yang belum siap menghadapi lonjakan pasien. Mulai dari jumlah petugas kesehatan yang tidak sebanding dengan jumlah pasien, hingga kapasitas bed yang tidak cukup. Saat ini sedang santer diberitakan terjadinya kematian pasien JKN lantaran RS tidak bisa menampung pasien sehingga tidak tersentuh medis. (sumber: transtv 31/10/1014). tragedi ini merupakan pukulan keras buat pemerintah!. 

Masalah lain mengancam, pasien juga dihadapi risiko “dipingpong”! bisa dibayangkan derita pasien JKN sudah lama-lama mengantri, dengan badan sakit, eh harus menerima kenyataan harus merujuk ke RS lain, bahkan ada yang dirujuk ke RS yang jauh jaraknya. “ada pasien JKN dibekasi dirujuk ke RS di Bandung!” . alamak, sudah sakit semakin sakit! padahal JKN menganut prinsip portabilitas dan berlaku sama disemua daerah, habit PT. ASKES terdahulu yang menganut “Rayonisasi” (sistem rujukan berdasarkan rayon) terbawa ke JKN menjadi penghambat tersendiri. (sumber: JKN. Hasbullah T). 

"Pasien tidak tertampung disalah satu RS Pemerintah"]

14148609161940101303

Mulai dari pelayanan yang emoh pakemoh hingga obat yang asal ada!

Ada pula yang mengeluhkan sikap petugas kesehatan yang diskriminatif terhadap pasien JKN, berbeda perlakuan dengan pasien yang non JKN. Sikap petugas kurang menyenangkan, Bahkan ada yang ditolak berobat!  Seperti yang terjadi di Pekanbaru, pasien JKN merasa dilecehkan dan diperlakukan diskriminatid dari dokter RS Syafira. (sumber: beritariau.com). Kenapa begini?  

keluhan lainnya, obat yang diberikan ke pasien JKN terkesan “asal ada”, tidak bermutu! tampilan obat tidak menarik, obat telanjang tanpa kemasan (yaslis I menyebutnya: porno farmasi), obat yang diberikan juga itu-ituuu aja! (sumber: yaslis I) Sakit maag obatnya itu, sakit kepala obatnya itu, sakit gigi juga itu obatnya! kondisi ini tentu menurunkan “kredibiltas” JKN dan membuat peserta menilai JKN adalah asuransi abal-abal, tidak berkualitas dan ujung-ujungnya pasien tidak puas! 

Blind Customer; moral hazard menghantui 

Peserta JKN adalah “blind Customer”, terlemah posisinya ketika akan menggunakan haknya di pelayanan kesehatan. Pasien cenderung tidak tahu “pelayanan apa yang seharusnya didapat” sesuai dengan penyakitnya. Gap ini menyebabkan rentannya “Moral Hazard” yang dilakukan oleh petugas kesehatan. terlebih lagi bila peserta JKN tidak tahu “pasti” hak-haknya. Peserta yang sudah faham saja bisa “dimanfaatkan”, apalagi tidak faham. 

Out Of Pocket (OOP)

Out of pocket (baca: OOP) menjadi masalah tersendiri, (istilah dimana pasien membayar sendiri sejumlah biaya). Dengan keyakinan peserta bahwa dirinya mendapatkan pelayanan yang gratis tentu tidak akan “siap” ketika “ditodong” harus membayar sendiri.  Fakta ini yang terjadi, seperti yang dialami oleh Muhammad Turi, asal Pamekasan. Ia harus membayar sendiri obat yang diresepkan oleh dokter, yang seharusnya gratis. Turi juga sudah menunjukkan surat eligibilitas sebagai penguat kepesertaan JKN, namun di tolak oleh Apotik. Turi sangat kecewa dengan kejadian itu (sumber: jpnn.com)


["Ilustrasi Out Of Pocket"]

14148596501673761679

REFORMASI SDM, REHABILITASI HASIL

“memanage SDM dengan efisien – sebaik-baiknya untuk menghasilkan sebesar-besarnya”, Yaslis Ilyas

SDM, SDM dan SDM!.  Sumber Daya Manusia (baca: SDM) harus menjadi salah satu perhatian khusus demi keberlangsungan JKN. Kenapa SDM? Ibarat organ tubuh, SDM adalah ”jantung” yang berperan penting dalam keberhasilan implementasi sebuah sistem. Apa arti sebuah sistem “unggul”, bila “eksekutor” nya buruk!. ketika sistem yang ditetapkan tidak berjalan semestinya, merupakan indikator untuk merestrukturisasi SDM. Membentuk SDM yang berintegritas, dan berjiwa “jujur” dalam melayani, tentu akan membawa kebaruan hasil dalam performa layanan JKN. Penanaman nilai-nilai dan budaya “melayani” tanpa memandang strata sosial tentu menjadi jawaban atas kasus diskriminasi. BPJS juga dapat memberikan sangsi kepada fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan yang buruk kepada peserta JKN. bisa berupa peringatan hingga pemutusan hubungan kerjasama. Untuk mengatasi ledakan jumlah pasien harus ada  penambahan kuantitas petugas kesehatan yang kompeten, disamping penambahan jumlah fasilitas kesehatan. 

Kita bisa mengadopsi cara Kanada (medicare) dalam mengatasi masalah OOP, dimana Pemerintah Federal Kanada mendenda pemerintah provinsi atas kasus banyaknya dokter yang meminta biaya tambahan disamping biaya yang ditanggung (sumber: JKN, Hasbullah T). Dalam hal ini BPJS bisa mendenda fasilitas kesehatan sebesar biaya yang dikenakan ke pasien dengan memotong biaya kapitasi. Untuk mempersempit celah potensi moral hazard, BPJS dapat membuat polis yang lebih jelas dan detail seperti polis asuransi swasta, disamping harus ada pengawasan yang ketat terhadap pelayanan JKN. Bila kemudian terdapat penyimpangan maka harus ada sanksi yang tegas agar ada efek jera.

Nampaknya banyak PR yang harus dituntaskan pemerintah, agar JKN berjalan sesuai harapan. Menerapkan “cara-cara” yang sudah terbukti “berhasil” dari pengalaman pendahulu JKN, dan memperbaiki  “kekurangan”, Bukan tidak mungkin, cita-cita universal coverage 100% terealisasi tahun 2019. Darmadi, D dalam bukunya fight like a tiger win like a champion mengatakan; untuk berhasil, kita tidak perlu mengalami kegagalan-kegagalan yang sama seperti “pendahulu” kita, cukup “belajar” dari mereka, agar kita tidak terjatuh ke dalam lubang yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline