Sebagian besar dari masyarakat Jawa merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai sumber kehidupan. Di dalam masyarakat agraria khususnya di Jawa, sistem kepemilikan tanah telah dibagi berdasarkan status sosial yaitu kelas pertama yaitu kuli kenceng (pemilik tanah), kelas Kedua adalah kuli karang kopek (penyewa tanah) dan kelas ketiga adalah bujang (penggarap tanah). Fungsi dari tanah bagi masyarakat agraris sebagai aset produksi untuk menghasilkan hasil bumi pertanian.
Sejarawan Asal Belanda, Henk Schulte Nordholt telah menyingkap catatan sejarah kolonial tentang sebuah peristiwa yang terjadi di beberapa wilayah yaitu Ciomas dan Buitenzorg (atau Bogor). Selain itu juga artikel yang berjudul Bloedige Tjiomas-affaire (1886) blijft de geesten verdelen oleh Ronald Frisart pada 7 September 2022 menyebutkan bahwa
"Hal ini ditengarai adanya Multatuli yang menulis tentang adanya pemberontakan petani di Lebak."
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli telah banyak menyoriti tentang adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum pribumi dan tertuang kedalam bukunya yang berjudul "Max Havelaar (1860)".
Wilayah Ciomas merupakan perkebunan swasta di kaki gunung berapi Salak, Jawa Barat. Luas dari wilayah tersebut diantaranya lebih dari 7.200 hektar hingga 20.000 dan 40.000 hektar. Jumlah populasi warga desa di perkebunan Ciomas yaitu sekitar 15.000.
Sepanjang abad 19-20 terdapat beberapa peristiwa sejarah dalam masyarakat agraris di Indonesia diantaranya Gerakan Cikandi Udik (1845), Ciomas (1886), dan Ciampea (1892). Pada Senin, 1 Maret 1966 melalui surat kabar Soerabaiasch Handelsblad bahwa kasus yang terjadi di wilayah Ciomas kurang penting, karena menurut mereka peristiwa pembunuhan yang telah terjadi merupakan hal yang biasa dalam konflik bidang agraria di perkebunan swasta dalam rangkaian jejak sejarah kolonial.
Sejak Pemerintahan Hindia Belanda mulai berkuasa terutama pada zaman VOC sampai dengan adad ke-19, telah mengubah status tanah di Ciomas menjadi tanah partikelir. Tanah-tanah tersebut telah dijual kepada para pemodal asing yang salah satunya adalah seorang tuan tanah asal Hindia Belanda bernama Johann Wilhelm Edouard de Sturler atau Tuan de Sturler. Dia merupakan seorang saudagar kaya raya yang mampu sebagai tuan tanah.
Selama Tuan de Sturler menjadi tuan tanah, dia telah membayar tanah dengan harga 1,4 juta Gulden dan penyelesaian adminitrasi pada tahun 1967. Selain itu juga dia telah memberikan upah kepada petani yaitu 12,5 sen perhari, memperbarui surat perjanjian dengan warga lokal di tahun 1869 yang berisi bahwa
1. 20% dari padi yang dipanen petani merupakan milik tuan tanah,
2. setiap petani harus menanam dan merawat 250 tanaman kopi di halaman rumahnya dan hasil panennya harus diserahkan kepada tuan tanah dengan harga tetap,