(Peringatan: berisi materi dewasa)
Tubuhmu mulia, mengapa?
Bacalah kedua kasus ini. Menurut anda siapa yang problemnya lebih berat, Eva atau Adam?
Cerita 1
Pulang kerja sore itu, Eva sangat kelelahan. Ia pulang untuk memasak makan malam buat keluarganya. Lalu segera memberi makan dua anaknya dan membersihkan rumah, karena tubuhnya meronta ingin segera istirahat. Malamnya, suami meminta Eva untuk melayaninya di tempat tidur. Eva menolak, tapi dia dipaksa melakukannya. Setelah itu, Eva menangis.
Cerita 2
Pulang kerja sore itu, Adam sangat kelelahan. Ia pulang untuk memasak makan malam buat keluarganya. Lalu segera memberi makan dua anaknya dan membersihkan rumah, karena tubuhnya meronta ingin segera istirahat. Malamnya, istri meminta Adam untuk melayaninya di tempat tidur. Adam menolak, tapi dia dipaksa melakukannya. Setelah itu, Adam menangis.
Jika anda melihat salah satu lebih berat dari yang lain, Eva atau Adam; maka mungkin anda memiliki cara pandang yang bias gender. Termasuk, bila anda menilai bahwa masalah karena pemaksaan hubungan seksual pada Eva berbeda levelnya jika dibandingkan pada Adam.
Perempuan biasanya diharapkan bisa mengerjakan berbagai tugas domestik dan siap melayani suaminya karena itu adalah kewajibannya dalam mempertahankan keluarganya. Tapi itu bukan kewajiban buat laki-laki.
Laki-laki biasanya dipandang tidak bisa menjadi obyek pemaksaan seksual oleh pasangannya, karena dia laki-laki yang harusnya punya kendali atas pasangannya dan senang akan seks. Tapi tidak pantas jika perempuan melakukannya.
Sebenarnya, kedua cerita ini disusun setara, persoalannya pun persis sama. Maka, yang membuat kedua cerita jadi tampak berbeda adalah sikap atau cara pandang kita terhadap perempuan atau laki-laki, serta harapan kita tentang peran/perilaku yang semestinya dilakukan oleh perempuan atau laki-laki.
Sikap dan harapan gender yang kita miliki ini telah terbentuk dari pengasuhan dan pendidikan nilai-nilai yang selama ini membentuk kita. Sadar tidak sadar, ada bias gender dalam diri kita. Inilah yang membuat kedua cerita ini "terasa" berbeda.
Bias gender yang tidak disadari bisa menghasilkan sikap dan perilaku yang memecah-mecah keutuhan manusia dan mereduksi kemuliaan tubuh manusia, yang akhirnya menciptakan kerentanan menjadi obyek kekerasan seksual (obyektifikasi seksual).
Kenyataannya, sebagian besar kita telah dididik untuk melihat dan memperlakukan perempuan dan laki-laki tidak setara. Maka perlulah kita refleksi diri agar menjadi sadar dan belajar.
Setelah refleksi diri, saya berpendapat bahwa baik perempuan dan laki-laki sejak dini perlu dilatih melihat jiwa dan raganya secara utuh dan mulia. Juga, bahwa kebahagiaan adalah hak pribadi yang perlu dihargai dan dijamin oleh satu sama lain. Sikap-sikap ini penting diajarkan pada kaum muda, terutama untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan kita.
Kesatuan Jiwa dan Raga yang mulia
Sering kita terjebak dalam dualisme tidak setara antara raga dan jiwa. Bahwa raga bersifat daging maka lebih rendah daripada jiwa yang bersifat murni; sehingga hanya jiwa yang dianggap luhur dan penting. Jiwa bahkan dipercaya bisa dimurnikan kembali dengan doa mohon pengampunan atau berbuat baik atau upaya spiritual lainnya. Tapi tidak dengan raga, yang sekali cacat maka dianggap selamanya ternoda.