Jadi, ketika mempertimbangkan pendidikan moral, baik pada level individu, hubungan inter-personal, atau masyarakat, lebih penting untuk mendidik perasaan bersalah sebagai barometer emosi moral daripada perasaan malu (Bagian II).
Marah dan jijik
Marah dan jijik juga tergolong emosi negatif, namun biasanya muncul karena adanya suatu faktor di luar diri. Marah bisa terjadi ketika seseorang tersinggung atas perilaku orang lain, merasa dilanggar/dirugikan, frustasi atau adanya tindakan orang lain yang melanggar standar moral yang dianutnya.
Sedangkan perasaan jijik terkait dengan reaksi atas penolakan terhadap sesuatu yang berpotensi menular atau sesuatu yang dianggap ofensif, tidak menyenangkan, serta pelanggaran etika keilahian/kesucian (mengingatkan pada sifat hewan yang dianggap lebih rendah, seperti buang air besar atau barang yang kotor/jorok).
Marah dan jijik bisa menyebabkan orang lebih mungkin terlibat dalam perilaku imoral. Marah tentu saja lebih bisa dipahami dipahami sebagai penyebab munculnya perilaku agresif, menyerang dan merusak. Kemarahan yang tidak dikelola akan menyebabkan orang dapat melakukan pelanggaran atau perilaku buruk.
Namun, penelitian juga menemukan bahwa emosi jijik juga bisa menjadi akar emosi yang memunculkan kejahatan. Jijik ditemukan sebagai awal emosi munculnya pengabaian hak orang lain dan merendahkan martabat manusia lain, seperti rasisme dan pelecehan/kekerasan (Vartanian, Trewartha, & Vanman, 2016).
Jijik juga dapat mengendalikan perilaku moral seseorang. Ketika seseorang mengalami jijik, emosi, maka menandakan bahwa perilaku, objek, atau orang tertentu harus dihindari untuk menjaga kemurnian mereka (Olatunji, David, & Ciesielski, 2012).
Misalkan: ketika seseorang anak diajari bahwa orang miskin adalah kotor dan berbicara dengan orang miskin bisa merendahkan harkat keluarganya, maka si anak akan menjauhi interaksi dengan orang miskin. Dan hal ini dapat dilakukan secara ekstrem menjauhi karena jijik.
Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat kepekaan jijik akan mempengaruhi penilaian moral. Semakin tinggi kepekaan jijik seseorang, semakin besar kecenderungan untuk membuat penilaian moral yang lebih keras (David & Olatunji, 2011). Misalkan: seorang hakim yang memiliki kepekaan jijik atas masalah pemerkosaan, karena merasa kasus pemerkosaan adalah pelanggaran yang sangat menyalahi aturan moral kesucian, maka ia akan lebih mungkin memberikan hukuman berat pada terdakwanya.
Di dalam kasus kriminal, ditemukan bahwa pelaku kejahatan akan menjadi lebih keji pada korbannya, ketika ia melihat korbannya lebih rendah martabatnya. Pelaku pembunuhan akan lebih mungkin menyiksa dan menghancurkan tubuh korbannya jika ia melihat korbannya adalah hewan, mahluk yang lebih rendah dari dirinya.
Relevansi: