Lihat ke Halaman Asli

Batman Returns...a.k.a...Balik Lagi Ngomongin Batman

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gue punya sebuah rahasia. Gue telah memendamnya setahun setelah kejadian berlalu dan gue akan membongkarnya secara umum sekarang:

Gue benci Batman

Cuma Batman doang, kok baru berani ngomong sekarang...Tapi dalam paragraph pertama pun gue yakin ada yang mulai kurang seneng. Coba bayangkan sanksi sosial yang bakal gue terima jika gue menyatakan ini tahun lalu, ketika film ini baru pertama kali rilis.

Editor MSN Singapura waktu itu bahkan pernah mengatakan, cuma orang yang gak ngerti film saja yang akan bilang film The Dark Knight itu jelek. Macamnya cuma orang pintar yang minum jamu tertentu. Gengsi dibilang buta film, gue terpaksa setuju membuat review bintang 5 untuk Batman.

Suer. Pada awalnya gue pun bersemangat tanpa pesimisme sedikitpun menyambut film Batman yang dipuja-puja bangsa itu. Gue ingat bersusah payah mendapatkan tiket di hari pertama pemutaran, berhasil menemukannya hanya di sebuah bioskop tua dengan toilet berlampu berdengung di sudut Singapura, karena bioskop top sudah fully booked dari dua minggu sebelumnya. Gue melihat seluruh bioskop juga muncul dengan wajah penuh harap, dan berkata pada diri sendiri, Kayaknya oke nih!

Dua jam 32 menit berlalu. Dan gue melihat bioskop kini dipenuhi oleh wajah orang-orang yang lemas dan bingung. Bukan lemas karena habis begitu tegang nonton. Bingung bukan karena sedang memikirkan arti film yang dalam. Tapi semacam lemas karena ngantuk dan bingung hilang arah, tak mengerti, tak menikmati.

Tapi begitu keesokan harinya film tersebut dibahas di koran nasional, cuma ada sanjungan dan pujian. Film ini ga seperti film superhero dangkal pada umumnya. Karakter Batmannya dapet banget. Jokernya bikin gue ga bisa tidur. Efeknya ga murahan....Dan segenap dukungan lain, baik dari insan film maupun bukan, yang sudah nonton maupun belum. Bahkan orang-orang dalam bioskop yang berwajah bingung tadi kini berbalik mendukung film tersebut.

Ini adalah pertama kalinya selera gue bertentangan dengan selera pasar. Sungguhlah gue orang yang mudah dibodoh-bodohi. Gue suka semua film box-office. Gemar menyanyi-nyanyi lagu-lagu top 40. Nekad bolos pramuka saat ABG supaya tidak ketinggalan MTV Asia Hit List.

Sebagai bagian dari masyarakat banyak dan umum ini, gue selalu percaya bahwa lagu, film, mode disebut bagus karena memang semua orang menyukainya dan dilegitimasi oleh mereka yang memang ‘ahli' pada bidangnya. Barulah di saat gue harus melawan opini massa, timbul pertanyaan, memangnya siapa yang punya hak untuk  menentukan sebuah hasil kebudayaan sebagai bagus dan tidak, buat gue?

Tentunya ada orang film senior, sutradara ngetop dan ahli sinematografis yang mendasarkan pendapatnya atas pengetahuan yang didapat dari pengalaman yang mendalam. Kolom review mereka, cuplikan pendapat mereka atas sebuah film,  pastinya merupakan sebuah sumber pembentuk opini yang valid.

Tapi para tokoh film yang sangat gue hormati itu hanyalah beberapa persen dari materi pembentuk selera gue dan kebanyakan orang lain. Dari sebuah ide tercetus di kepala hingga dikonsumsi masyakarat, hingga direview hingga direproduksi, ada banyak ‘penjaga gawang' lain yang terlibat.

Pekerja film menentukan ide yang ingin dibuat film. Penyandang dana memilih film yang ingin disponsori. Organisasi media menentukan film yang tayang, yang direview, yang didukung dan tidak. Kekuatan iklan plus promosi menentukan jangkauan film dan bagaimana orang menerimanya.

Serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu sehingga ketika sampai ke gue, budaya pop bukanlah sesuatu yang objektif. Ada berbagai kepentingan dan cara pandang serta definisi pengetahuan subjektif yang diselipkan dalam setiap produknya.

Tapi saat itu, gue tidak pernah mempertanyakan keabsahan penilaian sistem ini. Dan jadilah film yang ‘kata orang' bagus menjadi bagus. Biarpun gue ga tahu siapa ‘orang' yang berkata demikian, atau yang pertama menyebutnya sebagai bagus. Biarpun gue lupa bertanya kenapa disebut bagus. Biarpun biar gue sudah membaca resensinya dan mereka bilang film itu bagus karena lightingnya keren, gue pun tidak pernah belajar lighting untuk memahami lighting yang bagus. Pokoknya kelihatan bagus.

Begitu juga jika ditanya apakah film Batman bagus, gue akan menjawab iya, karena semua bilang bagus. Bahkan meskipun menurut gue alurnya lambat. Bahkan meskipun menurut gue banyak latar belakang yang bertele-tele dan tidak diperlukan. Bahkan meskipun menurut gue fokus film jadi kurang berasa dengan kemunculan dua antagonis sekaligus. Bahkan meskipun menurut gue Heath Ledger main bagus tapi ga akan menang Oscar kalau tidak secara posthumous. Bahkan meskipun gue hampir tertidur saat nonton.

Sebaliknya teman gue yang nge-fans Batman-pun tak bisa secara pasti menjelaskan mengapa menurutnya Batman bagus.

"Batman bagusnya dimana sih?"

"Hmm..Jokernya keren."

"Iya, kerennya dimana?"

"Yaa..aktingnya keren aja,"

"Coba, bagian mana yang paling keren?"

"HEATH LEDGER MATI GARA-GARA JADI JOKER TAU GA SIH LOE?!"

Secara rasional, meninggal, bukan jaminan film yang bagus. Lagipula masih jadi spekulasi apakah benar Heath meninggal karena terinspirasi Joker. Tapi teman gue begitu yakin pendapatnya masuk akal dan sah. Seolah-olah dalam dirinya telah terbentuk ingatan buatan yang melahirkan pemikiran, membentuk selera tertentu atas dasar rasio dan identitas yang jelas. Padahal mungkin identitas bukanlah hasil pemikiran pribadi, tapi pendapat media sosial sekitar yang kemudian diadopsi jadi opini pribadi.

Sebuah identitas dan pemikiran yang menjadikannya (dan gue) bagian dari kerumunan besar, mass culture.. Menjadi berbeda adalah salah dan tidak berpengetahuan. Makanya tak ada satu pun teman gue yang jika ditanya akan menjawab Batman jelek. Barulah jika gue buka kartu bahwa gue sebenarnya tidak mengerti makna dibalik film, beberapa akan ikut mengaku,sebenarnya gue juga kurang ngerti...

Padahal, seperti kata para filsuf postmodic yang sering meninggal tragis, tidak mungkin untuk memaksakan satu ideologi sebagai kebenaran dalam masyakarat. Lingkup sosial kita tersusun oleh berbagai jenis identitas dan karakter yang semuanya valid.

Setiap orang punya sistem nilai dan pola pikir yang berbeda, yang tidak bisa dieliminasi seenaknya hanya karena sebagian besar tidak berpikir sedemikian adanya. Maka sah-sah saja kalau gue bilang Batman jelek. Gue memang tak mampu menangkap makna film yang dalam itu!

Entah mengapa gue tiba-tiba berhasrat buka mulut sekarang. Bagaimanapun juga, di luar Batman, gue suka semua hal yang orang lain bilang bagus. Ibaratnya, biarpun top 40 selalu dikutuk-kutuk karena disebut sebagai hasil manipulasi perusahaan rekaman, mempersulit anak indie untuk didengar, danlainsebagainya, top 40 tetaplah top 40. Lagu-lagu di tangga top 40 tetaplah lagu yang enak dan paling digemari.

Kultur pop atau kultur massa atau low culture atau apapun orang menyebutnya ada dan akan selalu ada. Karena memang sesuai dengan selera kebanyakan orang. Atau karena memang mayoritas orang telah dibentuk seleranya sehingga selalu menyukainya.

Banyak orang yang suka Batman dengan alasan yang sah dan menyakinkan. Hanya saja, mungkin ada juga segelintir orang norak ga ngerti film seperti gue yang ga suka, ga sehati, dan ga bisa mengidentifikasikan diri dengan film yang dianggap bagus tersebut. Dan kami-pun adalah kisah-kisah yang sama aslinya sama benarnya dan sama bagusnya seperti film Batman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline