Lihat ke Halaman Asli

Marganda H. Hutagalung

Managing Partner di DARE Law Alliance

Terorisme dan Militerisme

Diperbarui: 14 April 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com

Cerita, mitos, metafor dan bentuk fiksi lainnya memiliki peranan penting dalam pembentukan peradaban. Sejarawan ternama Yuval Noah Harari menulis, dalam buku Sapiens, bahwa fiksi mempengaruhi tingkah laku dan memfasilitasi manusia untuk bekerjasama dalam jumlah banyak.

Peranan fiksi dalam membentuk perilaku juga berlaku di dalam sistem pidana (criminal justice system) (Kraska & Kappeler, 1997). Sebagai contoh, kita memiliki pilihan untuk melihat kriminalitas sebagai “penyakit masyarakat” ataupun “musuh yang harus dilawan.” Bila kita mengadopsi pandangan (fiksi) yang pertama, mungkin kita akan bersimpati dengan tersedianya program-program rehabilitasi dan asimilasi bagi para narapidana. Namun bila kita mengadopsi fiksi kedua, mungkin kita akan cenderung mendukung pemberlakuan kebijakan-kebijakan yang lebih punitif.

Sejak terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat, berkembang fiksi “perang terhadap terorisme (war on terrorism).” Fiksi ini tidak hanya diadopsi oleh Amerika Serikat sebagai korban dari serangan tersebut, namun juga oleh negara-negara lain (Tujan, Gaughran, & Mollett, 2004).

Fiksi ini mengindikasikan adanya keyakinan bahwa cara-cara tradisional penegakan hukum tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada; dan cara-cara kemiliteran adalah jawabannya. Keyakinan semacam inilah yang diistilahkan oleh Peter B. Kraska (2007) sebagai “militerisme.” Fiksi militerisme biasanya tidak tinggal diam dan, bila mendapat cukup dukungan politik, bisa termanifestasi ke dalam bentuk-bentuk militerisasi—yaitu penerapan cara, perangkat dan strategi militer.

Militerisme kemudian menggeser paradigma penanganan terorisme di beberapa negara—dari yang awalnya berlandaskan hak asasi manusia dan akuntabilitas, bergerak ke arah militerisasi. Sebagai contoh, Britania Raya mengesahkan beberapa perundang-undangan anti-terorisme di tahun 2000 dan 2001. Peraturan-peraturan ini memberi dasar bagi negara untuk menangani perkara terorisme domestik dengan menggunakan persenjataan berat dan teknik-teknik yang lazimnya digunakan angkatan militer. Hal ini dibarengi dengan pemberlakuan penahanan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan (indefinite detention) terhadap tersangka teroris dalam situasi tertentu (Sim, 2004).

Di Indonesia, militerisme dan militerisasi bukanlah hal baru. Negara kita telah mengalami beberapa dekade di mana militerisasi menyeruak di banyak aspek kehidupan sipil. Di masa itu, angkatan militer negara (terutama angkatan darat) menjalankan politik praktis, mengontrol korporasi, melakukan patroli-patroli serta menempati posisi strategis di jajaran pemerintahan (Lee, 2000).

Baru setelah kejatuhan rezim Presiden Suharto pada tahun 1998 secara perlahan negara ini menghapuskan peranan-peranan militer di berbagai aspek kehidupan sipil. Salah satu perubahan penting di masa transisi ini adalah diterapkannya pemisahan antara Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (Sebastian & Gindarsah, 2013). Dengan adanya pemisahan ini, diharapkan permasalahan domestik yang melibatkan interaksi dengan warga negara tidak ditangani dengan cara-cara kemiliteran.

Di tahun-tahun berikutnya institusi kepolisian bersusah payah untuk memperbaiki legitimasinya di mata publik (Davies, Meliala, & Buttle, 2016). Tentunya ini bukan perkara mudah karena, dari segi sosiologis dan geografis, Indonesia sangat terbagi. Betapa tidak, negara kita terdiri dari sekitar 13,667 pulau yang dihuni oleh paling tidak 358 kelompok etnis (dengan sekitar 200 kelompok sub-etnis) yang menganut berbagai macam agama dan keyakinan (Badan Pusat Statistik, 2015).

Belum sempat upaya pembenahan dan reformasi tersebut membuahkan hasil, masyarakat Indonesia kembali diusik dengan rencana militerisasi. Dipengaruhi oleh kejadian peldakan bom yang terjadi di Jakarta pada Januari 2016 dan informasi intelijen tentang beberapa pelaku jihad yang berencana kembali ke tanah air setelah bertarung untuk Negara Islam di Timur Tengah, Indonesia menggulirkan pembahasan revisi perundang-undangan anti-terorisme (Singh, 2016). Salah satu ide yang dibicarakan dalam proses tersebut adalah pelibatan tentara dalam operasi-operasi penanganan terorisme. Selanjutnya ada pula wacana untuk menghilangkan status “tindak pidana” pada aksi-aksi terorisme untuk memberi ruang bagi cara-cara penanganan yang lebih kemiliteran.

Saya tidak dalam posisi sepenuhnya menolak atau mendukung wacana militerisasi ini. Penulis sadar betul bahwa penanganan terorisme adalah permasalahan rumit yang tidak bisa diselesaikan dalam 700 kata yang terkandung dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menyampaikan kepada perancang kebijakan bahwa ada harga yang harus dibayar bila kita mengadopsi fiksi tertentu, yaitu semakin sempitnya ruang untuk mengadopsi fiksi lainnya yang tidak sejalan. Memperlakukan permukiman warga selayaknya ‘medan peperangan’ dapat berimbas negatif terhadap paradigma ‘kepolisian ramah masyarakat dan profesional’ yang sedang dibangun secara perlahan. Pada akhirnya, kebijaksanaan perancang peraturan dalam menentukan masa depan hubungan kepolisian dengan masyarakat sangatlah dibutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline