Tulisan ini didedikasikan untuk sebagian dari kita yang kehilangan teman gara-gara perbedaan kubu politik. Sering kali pendirian politik kita dibangun di atas fondasi yang dangkal dan karenanya, tidak pantas dibayar dengan hilangnya persahabatan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa isu-isu politik yang berkeliaran beberapa tahun terakhir ini kerap memecah-belah kita semua. Sebagai contoh anekdotal, pada masa pemilu presiden kemarin dilaporkan dua tukang becak berkelahi karena tidak sudi capres kesayangan mereka dihina. Begitu juga masa pilkada akhir-akhir ini, yang telah memakan korban baik di dunia maya maupun nyata.
Memangnya seberapa penting dan kokoh pendirian politik kita sampai harus dibela mati-matian?
Kalau kita mau melihat gambar besarnya, kemungkinan aliansi politik kita sekarang telah berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Yang sepuluh tahun lalu menghujat Megawati dan mengidolakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang mungkin berbalik sikap 180 derajat. Yang enam tahun lalu merasa Prabowo Subianto adalah kandidat presiden yang paling layak didukung kemudian dikejutkan dengan kehadiran "kuda hitam" Joko Widodo. Berkaca dari pengalaman-pengalaman ini, sepertinya sangat mungkin bahwa loyalitas kita terhadap Ahok atau Agus atau Anies (atau siapa pun yang sedang kita bela saat ini) akan berubah drastis pada masa yang akan datang.
Mungkin Anda berpikir: walaupun pendirian politik mungkin berubah, tapi setidaknya kita bisa menentukan sikap saat ini berdasarkan bukti-bukti yang ada, bukan? Sepertinya tidak semudah itu. Nyatanya, sedalam apa pun kita mendalami media, tetap saja kita sering gagal memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Contoh yang langsung muncul di benak saya adalah kisah dipenjarakannya Antasari Azhar. Seperti kita ketahui, keanehan-keanehan yang muncul dalam persidangannya menyiratkan adanya konspirasi "di balik layar". Saya ingat di sebuah wawancara televisi di tahun 2016, Antasari menyatakan bahwa dirinya sudah tahu siapa dalang di balik konspirasi tersebut dan sedang menggarap sebuah buku terkait kasusnya. Tertarik ingin tahu tentang konspirasi tersebut, saya langsung membeli buku tersebut sesaat setelah dirilis. Setelah membacanya beberapa bab saya langsung meletakkan buku itu dan tidak melanjutkannya sampai sekarang.
Terkesan buku itu hanya mengulang-ulang kembali kejanggalan-kejanggalan yang sudah sering dibicarakan sebelumnya—pada akhirnya si ‘dalang’ tidak juga diungkap. Memang baru-baru ini, begitu bebas dari penjara, Antasari kembali berjanji untuk mengungkap rekayasa tersebut—namun rencana itu tidak bisa langsung dilaksanakan, karena ada beberapa faktor pertimbangan (yang tidak bisa diceritakan ke publik). Pada saat ini, saya sudah tidak memiliki energi lagi mengikuti perkembangan kasus ini.
Contoh kedua bisa kita lihat pada sidang dugaan penodaan agama yang dilakukan Ahok akhir-akhir ini. Dalam beberapa kesempatan, kubu Ahok menyatakan senang persidangan dijalankan secara terbuka karena masyarakat jadi lebih bisa memahami permasalahan secara menyeluruh. Di tengah persidangan, penasihat hukum Ahok menyatakan memiliki bukti bahwa SBY meminta ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin, untuk menerbitkan fatwa yang menyudutkan kliennya. Namun, sang pengacara menolak untuk membeberkan bukti yang ia punya. SBY pun mengadakan sesi ‘curhat publik’ terkait dugaan tersebut sambil menyiratkan bahwa pemerintah telah melakukan penyadapan terhadap dirinya. Pemerintah bingung atas pernyataan SBY dan langsung ‘membuang badan’ kembali pengacara Ahok. Jadi sebenarnya, bila benar-benar ada penyadapan, siapa yang menyadap siapa; dan apa yang disadap? Entahlah.
Apa benang merah dari kedua contoh di atas? Kita, seberapa dalam pun mengonsumsi media, pada akhirnya tetap saja tidak bisa mengungkap kebenaran di balik sindiran-sindiran, kode-kode, dan isyarat-isyarat para aktor-aktor elite di negeri ini. Tetap saja kita tidak mengerti konteks penuh dari apa yang mereka permasalahkan—mungkin hanya mereka sendiri (dan rekan-rekan di lingkarannya) yang memahami. Tentunya pada saat memanfaatkan publik sebagai platform, para aktor ini bersikap seolah mereka bertindak atas nama ‘keterbukaan informasi’—yang sering kali dirangkai dengan ungkapan-ungkapan klise seperti "ini penting bagi publik untuk tahu", "kita ingin membongkar semuanya", "ini untuk pembelajaran demokrasi" dan—ini yang menurut saya paling tidak lucu—"rakyat sudah pintar". Tapi pada taraf tertentu, mereka juga yang menentukan sampai di mana publik sepantasnya tahu.
Pemahaman yang setengah-setengah itu kemudian diperkeruh dengan ego yang melekat pada diri kita masing-masing. Kita langsung melekatkan pilihan politik kita dengan nilai-nilai hidup yang kita anut tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, kandidat yang kita dukung bukan lagi sekedar kandidat, namun juga bagian yang tidak terpisahkan dari agama, pandangan hidup, dan komunitas kita. Hujatan terhadap kandidat tersebut kemudian secara tidak sadar kita samakan dengan hujatan terhadap diri kita sendiri.
Hal-hal di atas bisa jadi merupakan resep yang manjur untuk menciptakan masyarakat yang mudah diayun dan diombang-ambing. Dengan berbekal pemahaman dengan "dosis" yang sudah ditentukan oleh para politisi, kita saling berdebat, bertikai, menghabiskan uang berlebihan dan rela berjemur di siang terik untuk menyatakan sikap. Parahnya lagi, kita merasa senang dan bangga atas semuanya itu. Kita merasa bahwa keputusan untuk melakukan hal-hal tersebut sepenuhnya adalah cerminan dari integritas diri.