Lihat ke Halaman Asli

Marganda H. Hutagalung

Managing Partner di DARE Law Alliance dan Direktur Eksekutif TaktiKata Consulting

Susahnya Hidup dengan Ilmu Pengetahuan

Diperbarui: 1 Juli 2016   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Terima kasih kepada Valdano Paulo Ruru yang telah membuat gambar ini dan mengizinkan penulis untuk mempertunjukannya di tulisan ini.)

Buku itu jendela dunia.” “Banyaklah membaca untuk menambah wawasan.” Ini contoh kalimat-kalimat klise yang diucapkan orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya dan pemerintah kepada rakyatnya. Begitu hambarnya kalimat-kalimat ini, sampai-sampai mencari ilmu pengetahuan seringkali dianggap tak lebih dari sekedar hobi yang cute dan ringan.

Pada saat seseorang mulai masuk ke dunia kerja, hobi itu kemudian dianggap tabu. Seorang pekerja bisa dicap aneh bila membawa buku sains untuk dibaca disela-sela jam kerja. Mengapa? Karena sudah bukan waktunya lagi untuk membetulkan pemahaman tentang perubahan iklim global. Itu pelajaran anak sekolah dasar. Masa kerja adalah saatnya memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup. Yang penting adalah cari pendapatan yang besar dan konstan agar utang rumah, utang mobil dan utang lainnya bisa terus dilunasi.

Begitu seterusnya. Dan seterus itu pula kita menjalani pekerjaan dengan mengkonsumsi kertas dan plastik dalam jumlah besar, sembari membuat bumi semakin panas dan tidak ramah untuk dihuni. Niat untuk bertahan hidup malah mempercepat datangnya bencana.

Kemudian kita mendambakan komunitas tanpa kekerasan dan kriminalitas. Namun, dengan pikiran pendek, kita menghukum dengan serampangan pengedar ganja sampai pecandu narkoba. Padahal, alkohol, yang selama ini tidak ilegal, jauh lebih mematikan dan memicu tindak kekerasan dibanding ganja. Kecanduan narkoba (ataupun gula, makanan, junk-food dan lain-lain) ternyata seringkali merupakan efek samping dari trauma, penyakit psikis dan stress—bertahun-tahun kita memperlakukan para pecandu selayaknya penjahat.

100 legislator dan pejabat pemerintahan yang berilmu pengetahuan dapat menunda pemanasan global dan secara radikal mereformasi sistem peradilan. Sebaliknya, 100 legislator dan pejabat tidak berwawasan bisa mengobrak-abrik negara ini. Ilmu pengetahuan bukanlah mainan anak-anak.

Ilmu pengetahuan seringkali membuat hidup menjadi tidak nyaman. Ia mengganggu kecenderungan alamiah kita untuk berpikir pendek dan irasional.

Dalam buku Sapiens, Yuval Noah Harari memberi contoh kebiasaan berpikiran pendek itu. Peralihan gaya hidup manusia dari berburu ke bercocok-tanam didasari oleh keinginan untuk hidup berkelimpahan. Pada saat itu tidak terpikir bahwa hidup dengan sumber daya berlebih pada akhirnya menyebabkan lonjakan populasi. Saat jumlah populasi telah melonjak, manusia tidak punya pilihan kecuali bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi populasi tersebut. Begitu seterusnya manusia terjebak. Kebiasaan untuk terjebak dalam kerumitan—karena berusaha mencari kenyamanan—masih sering kita jumpai pada manusia modern.

Contoh irasionalitas manusia bisa kita lihat di buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt. Dari beragam penelitian, dapat disimpulkan bahwa nalar sering dipakai sebagai alat untuk membenarkan intuisi. Manusia jarang bersikap seperti peneliti yang menelaah bukti-bukti dan mengambil kesimpulan kemudian. Kita lebih sering bersikap seperti pengacara yang sudah punya pendirian terlebih dahulu, lalu memakai nalar untuk mendukungnya. Dalam penjelasannya, Haidt menunjukan skenario berikut:

Seseorang pergi ke toko swalayan tiap minggu untuk membeli ayam mentah (yang sudah mati). Namun sebelum memasaknya, orang ini melakukan hubungan sex dengan ayam tersebut. Baru setelah itu ia memasak dan memakan ayam itu.

Apakah menurut anda perilaku orang itu amoral? Dapatkah anda menjelaskan secara logis dan runtut jawaban anda? Dari responden penelitian, banyak yang langsung menyatakan bahwa perlakuan tersebut amoral. Tetapi mereka semua mengalami kesulitan saat diminta secara runtut menjelaskan pendiriannya.

Ilmu pengetahuan menembus keterbatasan ini. Ia adalah produk dari metode sains yang didesain untuk mengatasi bias, irasionalitas dan batas indera manusia. Dari luar angkasa, fenomena sosial, sampai dengan bakteri mikroskopik—hal-hal yang tidak terlihat mata—sains mengajarkan bagaimana caranya melihat dan merekam kejadian dengan akurat dan melempar hasil-hasil penelitian ke komunitas peneliti agar bisa dicerca, dimaki, dikritisi, ditertawai, dikembangkan, didukung dan disempurnakan.

Walau ilmu pengetahuan sering benar, ia sering salah juga. Ilmu pengetahuan berhasil menerbangkan kita di udara, namun gagal memprediksi krisis ekonomi global di tahun 2008. Ya, begitulah. Ia akan selalu memiliki kelemahan dan memerlukan pembenahan. Di dalamnya akan selalu muncul bantahan, fakta baru dan penemuan baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline