Lihat ke Halaman Asli

Marganda H. Hutagalung

Managing Partner di DARE Law Alliance

Deparpolisasi, Uber dan Status Quo

Diperbarui: 15 Maret 2016   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hasil pencarian aplikasi pemesanan taksi My Blue Bird saat saya mencoba mencari lokasi ‘universitas atma jaya’ dan ‘pengadilan negeri jakarta selatan’ pada hari ini (tanggal 15 Maret 2016)"][/caption]

Any customer can have a car painted any colour that he wants so long as it is black.” – Henry Ford

Keputusan seseorang untuk menggunakan suatu produk atau memilih pemimpin politik bisa didasari oleh rasa terpaksa atau ketulusan hati. Rasa terpaksa biasanya tumbuh di tengah-tengah keterbatasan pilihan. Di sisi lain, ketulusan tumbuh di tengah-tengah tersedianya berbagai pilihan.

Orang-orang yang terpaksa dalam memilih biasanya tidak loyal terhadap pilihannya begitu alternatif lain bermunculan. Dalam situasi ini biasanya produsen barang atau entitas politik terkait marah dan mencerca kompetitornya. Mereka marah karena merasa konsumen/konstituen ‘kepunyaannya’ tiba-tiba direbut oleh pihak lain.

Rasa Posesif

Terlepas dari rasa posesif kita, taraf kepemilikan terhadap sebuah benda bisa diukur dari berapa besar kita dapat mengontrolnya. Dalam konteks ini, memiliki rasa posesif yang berlebihan bisa dianggap irasional.

Sebagai contoh, mengontrol sebatang pensil tentu tidak sesulit mengontrol seekor kelinci. Sepertinya siapapun tidak akan mengalami kesulitan dalam melempar atau memutar-mutar sebatang pensil. Beda halnya dengan seekor kelinci―Kalau kita membebaskan kelinci peliharaan keluar rumah pada siang hari, kemungkinan dia tidak akan pulang dengan sendirinya pada sore hari. Dalam skenario kelinci ini, mempercayai bahwa kelinci tersebut akan pulang dengan sendirinya dapat dianggap irasional.

Ya, beberapa benda memang lebih sulit untuk dikontrol dibanding yang lainnya. Bila kita berbicara tentang makhluk hidup seperti kelinci dan manusia, maka kita akan dihadapkan dengan dorongan insting dan psikologis masing-masing individu yang, sebagian,[1] tidak dapat dikontrol.

Kurangnya kontrol dapat diatasi dengan pembatasan ruang gerak, terlepas dari apakah hal tersebut etis. Daripada mengharapkan seekor kelinci pulang dengan sukarela, mengapa tidak langsung saja dari awal dilarang keluar kandang? Daripada berharap seseorang akan memakai suatu jasa atas kemauannya sendiri, mengapa tidak langsung saja dari awal dibatasi pilihan jasa yang tersedia?

Status Quo

Sudah sejak lama ruang gerak kita di bidang transportasi taksi dan politik dibatasi.

Di dunia pertaksian, kita disuguhkan aplikasi pemesanan taksi yang tidak mampu mendeteksi lokasi bangunan-bangunan umum―misalnya gedung-gedung di lingkar bisnis Jakarta. Sebagian besar taksi belum mendukung transaksi non-tunai―sehingga acap kali kegiatan penumpangnya menjadi terhambat karena harus menunggu pengemudi taksi mencari uang kembalian. Seringkali pengemudi-pengemudi taksi juga menolak penumpang bila jarak tempuh dinilai kurang menguntungkan.[2]

Di bidang politik, kita diminta memilih calon-calon pemimpin yang disajikan partai politik. Kita diminta percaya dengan mekanisme penyaringan aspirasi yang dijalankan oleh partai-partai politik yang tidak produktif dalam berlegislasi, sibuk dengan konflik internalnya masing-masing dan banyak kader-kadernya melakukan tindak pidana korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline