Semilir angin berhembus kencang, meniup jilbab merah muda yang dipakai gadis berwajah lugu nan anggun. Mata teduhnya menatap langit biru, bibir tipisnya melafadzkan sesuatu sembari tersenyum, dan tangannya memegang buku tipis bertuliskan rentetan huruf hijaiyah. Dari kejauhan terdengar suara klakson mobil yang begitu nyaring. Mobil Jeep berwarna hijau terlihat melaju pelan dan berhenti tepat di samping gadis yang sedang melafadzkan sesuatu itu. Pintu mobil terbuka dan keluarlah lelaki setengah baya dengan badan yang kurus dan memakai pakaian berwarna biru tua.
"Neng Arsya ayo pulang, sudah sore. Sebentar lagi bapak sampai rumah," lelaki setengah baya itu merupakan supir dari gadis anggun yang sering dipanggil Arsya.
" Sebentar lagi, mang Jamal. Tanggung hafalan saya sedikit lagi," jawab Arsya dengan suara lembutnya.
Lelaki setengah baya yang sering dipanggil mang Jamal oleh Arsya itu hanya menghela napas, ia tidak akan bisa memaksa Arsya untuk pulang jika bukan Arsya sendiri yang ingin pulang. Namun, tiba-tiba dengan gerakan yang cukup gesit, Arsya telah memasuki mobil Jeep berwarna hijau itu dan duduk dengan anggun.
"Ayo, mang, kita pulang sekarang. Arsya berubah pikiran."
Dengan wajah bingung, mang Jamal mulai memasuki mobil dan menyalakannya, kemudian mobil mulai meninggalkan tempat indah yang dipenuhi persawahan dan udara yang sejuk itu.
Tidak sampai sepuluh menit, mobil Jeep berwarna putih itu memasuki kawasan perumahan elit. Isinya hanya rumah-rumah megah dan bernuansa modern, berbeda dengan tempat yang sebelumnya dikunjungi mobil Jeep itu.
Beberapa saat kemudian, mobil itu mulai memasuki gerbang salah satu rumah bergaya Eropa. Catnya berwarna putih dengan aksen abu-abu yang menambah elegan rumah itu. Mobil Jeep berwarna hijau itu berhenti tepat disamping mobil SUV berwarna silver. Arsya turun dengan wajah gembira, ia tahu bahwa ayahnya sudah sampai di rumah. Dengan setengah berlari, Arsya memasuki rumah dan berteriak memanggil ayahnya. Arsya berharap kali ini harapannya akan terwujud.
"Darimana saja kamu, Arsya!" teriak seorang lelaki paruh baya berperawakan tinggi dan gagah, walau sudah berumur hampir setengah abad, namun wajahnya tetap terlihat begitu tampan.
"Papah..." Arsya menghentikan lari kecilnya dan berhenti mematung di sebelah sofa bergaya klasik. Mata teduhnya menatap lelaki yang sering dipanggilnya ayah itu. Rasa bahagia telah terganti dengan rasa kaget bercampur takut dalam hati Arsya, ia segera menundukkan kepalanya sembari menangis dan meminta maaf pada ayahnya itu. Ayahnya pasti akan memarahi dan menghukumnya. Yang Arsya harapkan sekarang adalah ibunya datang untuk membelanya, namun hal itu hanyalah harapan semu.
Ibunya telah lama meninggalkannya, mungkin ibunya kini sudah tenang di alam sana. Sejak kecil Arsya sudah ditinggal oleh ibunya, kini ia tinggal dengan ayah dan kakak laki- lakinya, namun kakaknya sedang berada di Turki untuk melanjutkan pendidikan S1 nya. Sekarang ia hanya tinggal dengan ayahnya dan para pembantu serta sopir ditambah satpam yang menempati rumah megahnya itu.