Lihat ke Halaman Asli

"Aku Anak Seorang Pelawak"

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore ini langit tampak cerah. Jingga kemerahan menjadi warna yang dominan sebelum gelap menyergap. Jam kuliahku telah usai sejak siang tadi sebenarnya. Namun, aku lebih suka kembali ke rumah saat senja, saat di mana matahari telah bersiap menyimpan sengatannya untuk hari berikutnya.

Di parkiran kampus, aku melihat Rena dijemput oleh ayahnya. Parkiran sudah sepi sekali, hanya mereka berdua saja di sana. Cukup lama aku memandangi mereka dari kejauhan. Sambil berjalan pelan, aku melihat Rena mengenakan helm yang diberikan oleh ayahnya. Hari ini hari Jumat, ayah Rena biasanya pulang dari kantor lebih cepat. Rena pun tak pernah absen menunggu ayahnya yang rutin menjemput. Ah, aku jadi ingat ayah. Sedang apa ya ayah sekarang? Sedang membaca koran sore di teras rumah dengan hanya mengenakan kaus oblong dan sarung kesayangannyakah atau malah belum pulang?

“Hei, Ra! Aku duluan ya! Sampai jumpa besok!” sapa Rena memecah lamunanku.

“Hei, Ren! Iya hati-hati ya… Sampai besok!” balasku dengan senyum simpul karena masih terkejut.

Namun, ada yang berbeda. Ayah Rena juga menyapaku ternyata.

”Khaira, Om dan Rena duluan ya, Nak. Sampaikan salam Om untuk ayahmu. Om senang sekali melihat penampilannya minggu lalu. Hati-hati di jalan!”, Om Teddy, ayah Rena, memberikan salam perpisahan sebelum mereka benar-benar berlalu.

Aku memang mengenal Om Teddy. Selain karena ia adalah ayah dari teman sejurusanku, aku juga mengenalnya karena ia sering sekali menitipkan salam untuk ayah melalui aku. Dia selalu senang dengan penampilan ayah yang ia saksikan setiap minggu katanya. Dengan suara yang khas, penampilan berwibawa, dan kepiawaiannya dalam berbicara, Rena pasti sangat bangga memiliki ayah seorang pengacara seperti Om Teddy.

Hal inilah yang selalu membuatku iri. Mengapa ayah tak bisa terlihat berwibawa dan pintar seperti Om Teddy atau ayah teman-temanku yang lain?

Ibu pernah berkata bahwa ayah adalah seniman. Jadi, wajar saja kalau berpenampilan semaunya. Ayahku memang sangat cinta dengan dunia seni, terutama seni peran, terutama lagi seni peran yang sarat akan komedi. Dan ya, betul dugaanmu, ayahku adalah seorang komedian, seorang pelawak!

Ayah sempat menimba ilmu di bangku kuliah katanya, di jurusan teknik mesin pada salah satu universitas swasta. Tapi, karena rasa cintanya yang terlewat dalam terhadap dunia seni, dulu ayah tinggalkan saja kuliahnya. Ia lebih memilih untuk bergabung dengan kelompok teater. Peran-peran yang dibawakannya tak pernah serius. Selalu komedi terus. Ayah senang menghibur orang katanya. Ia senang ditertawakan. Kini, tiap akhir pekan ayahku selalu menjadi penampil tetap pada sebuah acara komedi di salah satu stasiun televisi swasta. Itu baru pekerjaannya yang utama, belum terhitung tawaran melawak di acara-acara lainnya.

“Anaknya Wardono! Anaknya Wardono! Hahaha… Ayah kamu kok bisa sampai lucu begitu sih, Ra? Hahaha… Gara-gara menonton ayahmu melawak di televisi tadi malam, orang-orang di rumahku jadi ketawa semua! Sampai mau guling-guling rasanya! Hahaha,” sejak  SD sampai SMA, aku selalu saja mendengar komentar demi komentar dari teman-temanku yang mengetahui profesi ayah. Entah memuji atau menghina, tapi aku tetap saja tak terima. Aku benci melihat ayahku ditertawakan. Ayahku bukan badut! Bahkan, jika melihat badut saja teman-temanku tak tertawa, tapi mengapa saat menyaksikan ayahku di televisi mereka justru tertawa dengan kencangnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline