Lihat ke Halaman Asli

Pergi Tanpa Pesan

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Halo! Tante, Avrilnya ada?

“Hei, ini saya. Elya khan?”

“Yup. Avril dah tau belum?”

“Dah tau apa?”

“Besok pagi Fadel ke Jakarta”

“Untuk apa?”

“Dia diterima bekerja pada salah satu perusahaan swasta”.

“Oh,,,thank’s ya elya”.

Rasa kehilangan. Mungkinkah rasa kehilangan kan mendekap di hati, meski rasa memiliki tak pernah ada. Apa yang menjadi alasan hingga rasa kehilangan merekah di hati saat-saat terakhir dia akan pergi. Seseorang yang selalu kuhindari, manusia yang selalu ingin melihatku risau karenanya. Tiada hari kulalui tanpa tingkah anehnya. Terkadang menarik tasku, merebut barang kesayanganku, memanggilku dengan sebutan monyong, ngesot, kunti, mencit, Ijah atau Surti (sosok pembantu dalam sinetron putri yang tertukar) dan sederet gangguan lainnya. Fadel, ya namanya Fadel. Teman sekelasku di jurusan Biologi. Dia tak pernah absen dalam keseharianku. Ada saja kisah ia rangkai setiap berhadapan denganku.

Ia pergi tanpa pesan sebaris pun, ketika aku mulai terbiasa dengan gangguannya. Karena tak hanya tingkah anehnya menghiasi hariku, tetapi perhatinnya. Saat-saat gelombang hidup menghempasku, pundaknya selalu siap menjadi sandaranku, lengan bajunya rela basah meresap kesedihanku. Kisah selama empat tahun telah ia rangkai pada pilinan hatiku harus terhenti hari Selasa, 24 Januari 2011.

Rasa kehilangan hanya akan ada

Bila kau pernah merasa memilikinya.

Pernakah kau mengira bahwa dia kan sirna

Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa

Sambil mendekap guling, lirik lagu Letto terus mengalir dari bibir merona Avril. Derai air mulai mengguyur area mulus wajahnya. Dinding kamar, lukisan mawar, daun pintu, bahkan cheche, kucing kesayangannya hanya bisa membisu mendengar isak tangisannya. Lamat-lamat Avril mengamati sms terakhir Fadel.

“Jika suatu saat nanti, mimpimu jadi penulis terkenal kau gapai, jangan lupa mengukir nama kawanmu ini. Fadel.

Jemari Avril segera meraih buku dan pena pemberian Fadel saat ia berulang tahun.

Pernahkah semenit saja engkau berpikir mengenai keadaanku tanpa dirimu.

Siapa lagi yang akan memanggiku monyong, ngesot, kunti, mencit, Ijah atau Surti?

Fadel, ke mana ku kan bersandar saat jiwa ini letih.

***

Pagi-pagi buta, Avril beranjak keluar dari rumahnya. Ia berniat menyusul Fadel ke bandara Sultan Hasanuddin. Namun sesampainya di bandara, ia tak menemukan Sosok yang dicarinya. Tak sabar, ia segera menghubungi Fadel.

“Fadel, kau di bagian mana sih.”

“Maksud lho?”

“Bukannya kamu akan ke Jakarta nih hari”

“haha haha ha,,,,”

“Fadel jahat!, hiks, hiks, hiks. Kamu sekarang di mana?”

“Kamu di mana?”

“Bandara”

Tit,,,

“Halo” Tiba-tiba suara Avril tak kedengaran.

Bermodal kaos oblong dan kunci motor, Fadel mengendarai motor melalui jalan tol menuju bandara Sultan Hasanuddin. Setelah memarkir motornya, Fadel menyusuri ruang tunggu. Wanita, yang dicarinya ternyata tengah duduk di salah satu tempat duduk sambil sesenggukan.

“Avril!” Memegang bahu Avril.

“Fadel! Kamu jahat” Berdiri lalu memukul bahu Fadel.

“Avril tidak apa-apa khan?” Menatap Avril.

“Maaf, tadi Hpku lowbet?”

“Plis, jangan membuatku khawatir lagi”. Fadel menarik Avril memasuki dekapannya.

“Saya tidak jadi ke Jakarta, tak sanggup meninggalkan Makassar tempat bidadari yang telah menambat hatiku”. Fadel berbisik.

Didedikasikan buat Ufy dan Ary

Biologi ‘06

Rabu, 26-28 Januari 2011

SH, Green Room

Zaman cam to cam

Avril, cece, nela

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline