Dari sekian banyak bahasan didalam Theology (membicarakan Tuhan) dan Filsafat (pemikiran-pemikiran manusia akan bijaksana), terdapat suatu irisan yang keduanya membahas tema yang sama, yaitu konsep Tuhan.
Tuhan dalam konsep teologis adalah Sang Pencipta yang transendent (jauh disana) tetapi sekaligus imanen (berada disini, bisa dijangkau). Meskipun beberapa pemikiran arus liberal menyebut Tuhan itu hasil imajinasi manusia, sehingga keberadaan nya berdasarkan imajinasi manusia itu dalam menakar Tuhan dan pemikiran lain menyebut Tuhan adalah Tuhan yang gagal yang tidak tau bahwa manusia jatuh pada pemberontakan hingga mengalami kehancuran, sehingga Tuhan mengasingkan diri dari dunia, dst.
Dalam konsep Filsafat (terutama pra-sokratik) tidak menyebut secara gamblang tentang Tuhan, tetapi mengurai adanya suatu pribadi yang mencipta yang tanpa dicipta, pribadi yang menopang yang tanpa perlu ditopang, sumber dari segala keberadaan dan Induk dari semua yang ada. Akan uraian diatas Filsafat dalam pemikiran bijaksana manusia menyadari sumber dan keberadaan yang menopang semesta.
Kemudian, jika konsep tersebut disandingkan dengan konteks timur (secara khusus Asia), mereka akan tertawa dan merasa ganjil-aneh jika mendapati orang-orang belahan barat (secara umum Eropa) menyebut "tidak ada Tuhan", hal tersebut merupakan keanehan karena budaya religiutas di belahan Asia menanamkan kemutlakan dalam kesalehan kepada Tuhan.
Sebaliknya, dibelahan Timur (Secara khusus Asia) meyakini adanya pribadi yang memiliki kuasa lebih besar dari dirinya yang kepada nya mereka menaruh pengharapan akan perlindungan dan pertolongan, mereka sebut tuhan yang bahkan banyak dan beribu dewa-dewa jadi bahan pemujaan, dari animisme hingga politheisme.
Justru atas kondisi tersebut, belahan barat merasa aneh ketika melihat dengan logika/rasionalitas bahwa justru mereka yang katanya beragama dan bertuhan paling berani membunuh dan membenci sesamanya, menjadi negara korup yang singkatnya mengingkari kebertuhanan dalam ritus-ritus tersebut.
Ditengah perdebatan hingga akhir kemanusiaan tersebut, sejenak meninggalkan uraian diatas hingga era post truth dan post secularism, yang berdasarkan pada kebebasan dan HAM untuk meneriakkan ketiadaan Tuhan dan tidak perlu Tuhan.
Mengetengahkan suatu pemikiran yang diuraikan Calvin, menyebutkan bahwa "Bijaksana terbesar dalam kemanusiaan adalah mengenal Allah, yang kemudian dengan mengenal Allah; manusia akan mengenal dirinya."
Sehingga, yang pertama; mereka yang menyembah Allah yang benar dan sejati tidak mungkin sekaligus membenci sesamanya. Selanjutnya, mereka yang semakin berdekat pada Sang Kebenaran yang menjadi kebenaran itu sendiri (Subjectivity of Truth it self) tidak akan menemukan dirinya benar dan tidak akan merasa lebih benar dari orang lain (berbijaksana).
Dalam anugerah kita mengenal Allah yang benar dan sejati.