Ini bukan dongeng, tetapi kumpulan surat yang bisa dianggap perasaan dalam negeri dongeng si penulis.
#Surat pertama, 20 Oktober 2012#
Kepada Kejora,
di semesta hatiku
Kejora, semoga Dikau tak lelah bercahaya di hati yang sepi ini.
Detik selalu berubah wujud menjadi hari, tapi lamunanku tentangmu tak pernah usai tuk kuresapi.
Tahu kah Kau duhai, Kejora? Hari-hari sebelumnya, saat tangan kita belum berjabat hangat seperti di lantai dua sebuah bangunan megah yang berkubah, aku hanya ditemani ‘Nada Sepi’ dan ‘Ilusinasi Lugu’. Saat itu
Dikau belum tahu bahwa aku punya kunci ukhuwah untukmu. Namun, saat Mentari ikut mengganti hari dan segala kisahku, aku pun berbagi sepotong curahan jiwa untuk Dikau dengar. Ya, Dikau mulai menunduk tersipu mendengar dongeng kasihku. Malu-malu aku berusaha menyampaikan bahwa Dikau adalah Kejora.
Kejora, semoga Dikau tak lengah mensiasati bahasa jiwaku.
Malam bertambah larut, tapi lamunanku tentangmu tak pernah surut.
Mengerti kah Dikau duhai, Kejora? Malam-malam sebelumnya, saat kita belum berani berbagi cerita di sela resah dan risih persembunyian suka-duka, aku hanya ditemani ‘Sabit Sunyi’ dan ‘Purnama Bisu’. Saat itu Dikau belum berani ikut campur dalam gelapku, apalagi memanggilku dengan sebutan "Mbak Penyair". Ah, istilah apa itu? Aku Kejora, walaupun Dikau juga adalah Kejora. Ini suratku pada ‘Kejora Malam’, agar cahaya kita disatukan dalam persaudaraan yang mengesankan. Kenalilah aku, Kejora. Seperti aku yang tak pernah menyerah untuk mengenalimu.
Salam,
Kejoramu.
Di Ruang Entah bagimu.
#Surat kedua, 21 Oktober 2012#
Untukmu Kejora,
(masih) di semesta hatiku.
Kejora, aku berusaha menyusun agenda dan menyelipkan bayangmu di segala sibukku. Seperti pagi ini, aku tidak lebih seperti hari-hari kemarin di matamu. Tahukah Dikau wahai Kejora? Banyak sikap yang mulanya tiada menjadi ada karena aku pun linglung diterpa sinarmu. Adakah Dikau ingin mengerti satu hal saja? Aku butuh cahaya murnimu.
Kejora,
aku tidak bisa meninggi di depanmu. Di semesta lain, aku memang dipuja sebagai bintang yang bersinar. Namun, di semesta 'ukhuwah kita' apalah aku ini, sinarku tak cukup menandingi kilaumu. Lagi-lagi aku masih berusaha meyakinkan penduduk ‘Bumi’ bahwa aku dan Dikau bisa bersatu untuk sebuah cahaya pengusir remang.
Kejora, tahu kah Dikau? Pagi ini aku sakit di sela detak kebersamaan kita. Aku masih saja tak bernilai, masih saja meronta sendiri tanpa upayamu berbagi sinar. Ya...ya..ya, aku memang payah. Aku belum pantas menjadi Kejora sepertimu. Tapi inilah suratku pada Kejora. Aku tak bisa memastikan, entah berarti kah rangkaian kata ini bagimu atau Dikau hanya akan menganggapnya sampah huruf yang kebetulan bisa kutata menjelang ‘Mentari’ mengejekku.
Salam,
Kejoramu.
Di Ruang Kelana Mengenalimu.
#Surat ketiga, Senin, 22 Oktober 2012
Untukmu Kejora,
di Angan-Angan Mimpi
Selamat pagi, Kejora. Kulihat semalam Dikau bercinta dengan ‘Catatan Pelajaran’, walau penglihatan itu hanya ada dalam imajinasiku. Kejora, pagi ini tetesan ‘Embun Dingin’ tidak berani menyelinap dalam pori-poriku. Hanya ada ‘Angin Rindu’ yang semakin betah mengajak karibnya tuk bergantung di temali hati. Sakit. Rindu-rindu bertumpuk, berkejaran hilir-mudik antara hati dan otak. Aku tidak melarang ‘Rindu’ memainkan rasaku, hanya saja kenapa ‘Rindu’ terasa menarikmu dalam pengembaraannya? Ah, sejatinya aku sudah malas berkawan dengan rindu. Semanis apapun madu diteteskannya, tapi tetap saja ada pahit empedu yang ikut mencuri ruang. Dan Dikau sudah mengerti, Kejora? Merindumu manis, tapi cukup pahit untuk kunikmati. Hingga dongeng ini kusampaikan pada cucu-cucu burung yang menari riang untuk sebuah sambutan pada Mentari.
Kejora, sudah kukatakan, aku bukan pengemis rasa yang menengadahkan muka hati ke langit jiwamu. Aku hanya ingin menghadiahkan rindu, sayang, dan perhatian. Aku pun ingin mendapat bagian itu. Kejora, aku sudah terlanjur mengantongkan senyum dan kesederhanaanmu di peti nurani. Aku tidak ingin Dikau memaksa Oktober tuk berlari cepat agar Dikau melirikku. Seperti penjelasanmu, butuh waktu untuk sebuah penerimaan siapa aku. Aku merasa terlalu dhaif menanti kecerianmu yang tersuguh untukku. Aku bukan meninggi, Kejora. Dikau tahu siapa aku. Banyak yang menawarkan semangkuk hati untukku, tapi aku sengaja lengah. Hati ini tidak memilih, tapi dipilihkan. Bukankah Dikau harus semakin bercahaya ketika menjadi Kejora terpilih di semesta hati? Kejora, baiklah. Aku tidak menuntutmu untuk mendiktekan bahasa hatimu yang terlalu bening, menurutku. Namun, Dikau harus segera melirik, ada apa di sekelilingmu. Itu saja. Semoga Dikau tak risau dengan surat-suratku. Aku bukan sedang menguji kemahiranku dalam bersyair, aku hanya mewakili hati untuk bicara. Aku masih duduk manis di ujung Sabit.
Salam, Kejoramu.
Di Ujung Sabit.
#Kutulis dengan kenyataan, surat-surat untuk Adinda :)
Salam
Mardhiyan Novita M.Z
dhiyan_alfa1ra@yahoo.com