Lihat ke Halaman Asli

Komodo, Indonesia, dan Budaya Pariwisata Jepang

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12968213231682612153

[caption id="attachment_88984" align="aligncenter" width="610" caption="Ilustrasi/Admin (AFP)"][/caption] Berita cukup menghebohkan bagi dunia pariwisata Indonesia muncul baru-baru ini. Pulau Komodo yang masuk sebagai salah satu dari tujuh finalis New 7 Wonders akan ditangguhkan dari posisinya pada tanggal 7 Februari 2011. Banyak yang terkejut mengingat sudah banyak biaya dikeluarkan untuk mempromosikan Pulau Komodo sebagai salah satu keajaiban dunia.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, mengatakan bahwa promosi yang dilakukan sejak adanya New 7 Wonders sudah membuahkan hasil dengan meningkatnya jumlah kunjungan sebanyak 400 persen sejak tahun 2007 meskipun posisinya kini ditangguhkan. Menbudpar pun menyatakan alasan ditangguhkannya posisi Pulau Komodo disebabkan Indonesia menolak mengeluarkan biaya yang mahal untuk menjadi tuan rumah diselenggarakannya event New 7 Wonders (Kompas, 3/2/2011).

Kita semua pun bangga—meski pulau Komodo ditangguhkan posisinya sebagai finalis—bahwa kita memiliki tempat pariwisata yang unik dan tidak ada duanya, namun ada sebuah ironi yang muncul. Dalam tulisannya di Kompasiana tanggal 4 Februari 2011, Vini Alvionita menulis bahwa keindahan alam di pulau Komodo terganggu bila dilihat dari segi pembangunan dan pengelolaan yang setengah hati. Mahalnya harga-harga pokok karena distribusi barang yang kacau ditambah dengan jarak Pulau Komodo yang cukup jauh dari pulau lainnya menjadi bukti dari pengelolaan yang kurang terhadap objek pariwisata Indonesia ini.

Penulis pun teringat mata kuliah yang penulis ambil semester lalu dengan judul, Geografi dan Pariwisata Jepang. Dalam kuliah tersebut sempat dibahas kekurangan dari pariwisata di Indonesia yaitu masalah infrastruktur yang tidak terurus dengan baik. Objek wisata juga umumnya sulit dicapai dan harus menggunakan sambungan beragam transportasi. Selain itu, penginapan yang ada di objek wisata juga dinilai kurang memadai sebagai tempat menginap. Hal ini sangat berbeda dengan pariwisata di Jepang yang infrastrukturnya terawat dengan baik.

Penyebab perbedaan ini menurut dosen pengajar penulis disebabkan oleh belum terbentuknya budaya pariwisata yang baik di Indonesia. Berbeda halnya dengan Jepang yang sudah memiliki budaya pariwisata—terutama pariwisata dalam negeri—yang baik dikarenakan kebijakan-kebijakan negara pada era pemerintahan Tokugawa (1603-1868)

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab hal ini, diantaranya:

Pertama, adanya kebijakan sakoku yaitu menutup diri dari negara-negara luar. Ini menyebabkan masyarakat Jepang hanya dapat melakukan perjalanan dalam negeri.

Kedua, adanya kebijakan sankin kotai bagi para daimyo (pemimpin han, yaitu daerah administratif setingkat propinsi). Sankin kotai adalah kebijakan yang mengharuskan para daimyo melapor ke pemerintah pusat di Edo (sekarang Tokyo) sebagai bentuk pengabdian dan dilakukan secara bergiliran. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan politis, yaitu untuk mengontrol dan melemahkan kekuatan daimyo, namun pada perkembangannya mewariskan budaya berwisata pada masyarakat Jepang.

Akibat kebijakan-kebijakan ini, maka muncullah rute-rute perjalanan seperti Gokaido (lima jalan utama) yaitu Tokaido, Nakasendo (Kiso Kaido), Nikko Kaido, Oshu Kaido, dan Koshu Kaido. Industri pariwisata pun bermunculan seiring dengan maraknya perjalanan. Munculnya biro perjalanan, transportasi (kuda dan porter), penginapan ala Jepang (ryokan), restoran, kedai teh hingga toko cinderamata disepanjang rute mau pun di kota-kota menjadi bukti berkembangnya pariwisata Jepang.

Pembentukan budaya pariwisata Jepang ini memang tidak hanya sejak zaman Tokugawa. Sejak awal masyarakat Jepang sudah memiliki kebiasaan melakukan perjalanan meskipun pada awalnya untuk ziarah ke tempat-tempat suci agama. Zaman Tokugawa yang belangsung selama 250 tahun dengan kebijakan sakoku dan sankin kotai pun menjadi zaman yang mengembangkan kebiasaan masyarakat Jepang menjadi budaya pariwisata.

Perlu waktu lama untuk mengembangkan budaya pariwisata sebuah negeri. Dalam diskusi di ruang kuliah penulis sendiri, sejauh ini hanya Bali lah wilayah Indonesia yang sudah memiliki budaya pariwisata yang baik. Tentunya ini ditunjang oleh infrastruktur yang baik pula di Bali. Indonesia memiliki beragam potensi wisata lainnya yang dapat berkembang. Perkembangan ini dapat berjalan dengan adanya perbaikan infrastruktur objek-objek wisata di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga perlu menggalakkan pariwisata domestik untuk menumbuhkan rasa kecintaan dan memiliki terhadap objek pariwisata Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline