Lihat ke Halaman Asli

Mardety Mardinsyah

Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Kehilangan, Apakah Se-sakit Ini?

Diperbarui: 15 Februari 2022   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Awan mulai gelap, pertanda  malam akan menampakkan perangainya. Lampu-lampu jalan tak kalah seru  beradu cahaya dengan  bulan yang siap menggantikan  matahari sebagai aksen langit. Di sudut kota ini, di sebuah rumah sederhana aku merenungi nasib,  kehilangan suami. Senja yang semakin menua  menemaniku duduk sendiri dalam kesunyian. Menunggu suami tercinta yang tak mungkin lagi datang menampakkan senyum teduhnya.

Bagaimana aku bisa  hidup waras, bila kenangan itu tidak mau hilang. Aku telah menjadi budak kenangan.  Kenangan lama  selalu berputar-putar di kepala. Yang manis-manis dalam hidup tinggal sejarah. Tiap malam aku  bermandi kenangan dan  basah oleh sejarah.

Hari itu, ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, aku sadar bahwa aku akan sendiri. Aku akan berjalan dalam sunyi menjalani sisa hidup ini. Tentu saja, sesekali putra-putraku, menantu, dan cucu-cucuku  datang berkunjung, namun ketika mereka pulang, aku hanya bisa  tersenyum dalam kesedihan. Tangis yang tertahan di dada mendatangkan rasa nyeri. Kesedihan itu  terus  mengalir. Rona gelap seolah-olah  disulam dalam hari-hari senjaku.

Sehari setelah suamiku dikubur, aku masuk rumah sakit. Tangis yang tertahan di dada, mendatangkan rasa nyeri. Rasa nyeri itu menjalar ke lengan dan jari-jari tangan yang kusangka aku kena serangan jantung. Setelah diobservasi tiga hari di rumah sakit,  ternyata enzim jantungku negatif, tapi aku tetap dibekali obat yang harus diminum secara rutin untuk maintenance kesehatan jantung. 

Aku terus melamun, kenangan itu datang jua. Aku teringat detik-detik terakhir  ketika tiba tiba suamiku meninggal dunia. Ajal rahasia Allah. Dia meninggal  tanpa  ada tanda-tanda. Menghembuskan nafas terakhir saat tersentak tidur. Dia sempat berada sejenak dalam pelukanku, membuka mata beberapa detik, menatap wajahku, seperti mau  mengucapkan selamat tinggal dan memastikan aku ada dekatnya. Kemudian, matanya  meredup  seperti menyatakan bahwa dia menepati janjinya, mencintaiku  sampai akhir hayat,  dan hanya tangan maut yang memisahkan. Tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan pergi selama-lamanya.

" Kok ibu  melamun, suara  Atun pembantu rumah tangga  mengejutkan aku.

"Ibu jangan sedih terus, nanti ibu sakit, kena otoimun", kata  Atun menimpali.

Si Atun ini  sok tahu, kataku dalam hati.  Orang sedih kok  bisa kena otoimun. Tapi bisa juga Atun punya pengetahuan. Sekarang era digital, smartphone berkembang, penggunaan sosial media meluas dan pengetahuan bisa diperoleh dengan  mudah dan murah.  Atun rajin reading dan writing di gawainya. Hidup di zaman digital ini  adalah hidup yang penuh informasi.

Aku diam dan sunyi  itu terus mengalir.......................

Malam mulai  pekat. Ingatan ke masa lalu tidak bisa berhenti. Genangan kenangan mengaliri jalur-jalur syarafku.

3 Februari 1969. Itu hari pernikahan kami. 3 Desember 2015, suamiku wafat.   47 tahun kurang dua bulan kami hidup berumah tangga, tidak sempat merayakan perkawinan emas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline