Awan mulai gelap, pertanda malam akan menampakkan perangainya. Lampu-lampu jalan tak kalah seru beradu cahaya dengan bulan yang siap menggantikan matahari sebagai aksen langit. Di sudut kota ini, di sebuah rumah sederhana aku merenungi nasib, kehilangan suami. Senja yang semakin menua menemaniku duduk sendiri dalam kesunyian. Menunggu suami tercinta yang tak mungkin lagi datang menampakkan senyum teduhnya.
Bagaimana aku bisa hidup waras, bila kenangan itu tidak mau hilang. Aku telah menjadi budak kenangan. Kenangan lama selalu berputar-putar di kepala. Yang manis-manis dalam hidup tinggal sejarah. Tiap malam aku bermandi kenangan dan basah oleh sejarah.
Hari itu, ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, aku sadar bahwa aku akan sendiri. Aku akan berjalan dalam sunyi menjalani sisa hidup ini. Tentu saja, sesekali putra-putraku, menantu, dan cucu-cucuku datang berkunjung, namun ketika mereka pulang, aku hanya bisa tersenyum dalam kesedihan. Tangis yang tertahan di dada mendatangkan rasa nyeri. Kesedihan itu terus mengalir. Rona gelap seolah-olah disulam dalam hari-hari senjaku.
Sehari setelah suamiku dikubur, aku masuk rumah sakit. Tangis yang tertahan di dada, mendatangkan rasa nyeri. Rasa nyeri itu menjalar ke lengan dan jari-jari tangan yang kusangka aku kena serangan jantung. Setelah diobservasi tiga hari di rumah sakit, ternyata enzim jantungku negatif, tapi aku tetap dibekali obat yang harus diminum secara rutin untuk maintenance kesehatan jantung.
Aku terus melamun, kenangan itu datang jua. Aku teringat detik-detik terakhir ketika tiba tiba suamiku meninggal dunia. Ajal rahasia Allah. Dia meninggal tanpa ada tanda-tanda. Menghembuskan nafas terakhir saat tersentak tidur. Dia sempat berada sejenak dalam pelukanku, membuka mata beberapa detik, menatap wajahku, seperti mau mengucapkan selamat tinggal dan memastikan aku ada dekatnya. Kemudian, matanya meredup seperti menyatakan bahwa dia menepati janjinya, mencintaiku sampai akhir hayat, dan hanya tangan maut yang memisahkan. Tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan pergi selama-lamanya.
" Kok ibu melamun, suara Atun pembantu rumah tangga mengejutkan aku.
"Ibu jangan sedih terus, nanti ibu sakit, kena otoimun", kata Atun menimpali.
Si Atun ini sok tahu, kataku dalam hati. Orang sedih kok bisa kena otoimun. Tapi bisa juga Atun punya pengetahuan. Sekarang era digital, smartphone berkembang, penggunaan sosial media meluas dan pengetahuan bisa diperoleh dengan mudah dan murah. Atun rajin reading dan writing di gawainya. Hidup di zaman digital ini adalah hidup yang penuh informasi.
Aku diam dan sunyi itu terus mengalir.......................
Malam mulai pekat. Ingatan ke masa lalu tidak bisa berhenti. Genangan kenangan mengaliri jalur-jalur syarafku.
3 Februari 1969. Itu hari pernikahan kami. 3 Desember 2015, suamiku wafat. 47 tahun kurang dua bulan kami hidup berumah tangga, tidak sempat merayakan perkawinan emas.