Sitti Nurbaya adalah sebuah novel. Novel ini ditulis oleh Marah Rusli yang menceritakan cinta remaja antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Novel ini merupakan cerita fiksi yang bersifat imajiner. Di kisahkan di kota Padang dan terjadi pada zaman penjajahan Belanda. Meskipun cerita dalam novel ini bersifat fiktif hanya berdasarkan imajinasi dari penulisnya, tapi karena cerita ini digemari masyarakat, maka cerita ini menjadi legenda populer dan menjadi inspirasi bagi pembangunan taman wisata di Gunung Padang yang diberi nama taman Sitti Nurbaya. Dan juga nama sebuah jembatan yang sangat ikonis bernama Jembatan Sitti Nurbaya. Jembatan itu berdiri kokoh dan indah membelah Sungai Batang Arau di Kota Padang.
Membaca novel Sitti Nurbaya, ada yang melihat dalam Sitti Nurbaya lukisan manusia yang hendak melepaskan diri dari adat-istiadat kedaerahan. Ada pula yang melihat pertentangan adat dan pertentangan antara orang kaya yang tamak dan orang yang baik. Tapi belum ada yang melihat bahwa dalam Sitti Nurbaya terlihat lukisan derita perempuan dalam penindasan budaya patriarki, terutama tradisi poligami.
Pelaku utama novel ini, Sitti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Maringgih. Sitti Nurbaya, remaja putri 15 tahun dinikah paksa oleh orang tuanya dengan laki laki tua bernama Datuk Maringgih. Sitti bingung memikirkan kehendak orangtuanya. Sitti marah dan memberontak. Dia tak mau kawin paksa karena dia sudah punya laki laki yang dicintanya Samsulbahri. Dia juga menolak perkawinan poligami. Poligami merupakan kezaliman terhadap perempuan. Tapi akhirnya, Sitti terpaksa menyerah pada kehendak sejarah dan demi menyelamatkan ayahnya dari hukuman penjara.
Sitti Nurbaya ketika masih kanak-kanak ditinggal mati oleh ibunya. Sejak saat itu, dia hidup bersama ayahnya Bagindo Sulaiman, seorang pedagang terkemuka di kota Padang. Sebagian modal usahanya merupakan uang pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgih. Sitti Nurbaya dibawah asuhan ayahnya menjadi gadis terpelajar, memiliki pemikiran jauh lebih maju daripada masyarakat di sekitarnya. Bagindo Sulaiman sebagai orang tua tunggal membesarkan putrinya dengan menyalakan pikir dan rasa dalam diri anaknya. Pikiran tidak boleh menjajah perasaan atau pikiran tak boleh dijajah perasaan. Hidup tenang dan seimbang, itu prinsip yang dia tanamkan.
Sitti suka membaca dan menulis sehingga dia cukup mengenal tata cara hidup dan kebudayaan moderen yang sedikit banyak berpengaruh terhadap jiwanya. Dari sana ,timbul gejolak pemberontakan ingin menerobos adat lama yang mengungkung perempuan dengan ketat di Minangkabau. Sitti bercita cita untuk menjadi pejuang keadilan gender, terutama menghapus poligami.
Datuk Maringgih, sudah lama menaruh hati pada Sitti Nurbaya, tapi cintanya tidak berbalas. Datuk Maringgih berusaha merebut Sitti, sekalipun Sitti sudah berpacaran dengan Samsulbahri. Tak bisa jalan lurus, akal bulus pun ditempuhnya.
" tak ado kayu, jenjang dikapiang, asalkan dapek urang dicinto" kata hati Datuk Maringgih.
Untuk merebut Sitti Nurbaya, Datuk Maringgih menjalankan siasatnya. Dia menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik Baginda Sulaiman. Maka hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ayah Sitti Nurbaya jatuh miskin, tak sanggup membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Kesempatan ini digunakan Datuk Maringgih menekan Baginda Sulaiman untuk melunasi hutangnya kalau tidak dia akan memperkarakan. Tapi hutang dianggap lunas, asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan putrinya Sitti Nurbaya untuk dinikahi Datuk Maringgih.
Sitti Nurbaya memberontak menghadapi kenyataan ini. Menikah, menikah dengan Datuk Maringgih?. Sitti marah, segenap roma darahnya menggelegak. Cita citanya untuk menjadi pejuang keadilan gender, terutama menghapus poligami kandas. Seperti R.A. Kartini pahlawan nasional yang mengusung ide keadilan gender meningkatkan derajat perempuan, tapi harus takluk pada kenyataan, Kartini dipoligami, menjadi isteri kedua, bupati Rembang. Sungguh berat, namun demi keselamatan ayahnya, Sitti terpaksa kawin dengan Datuk Maringgih sebagai isteri kedua. Perkawinan poligami, kezaliman terhadap perempuan.
Poligami tak bisa dilepas dari konsep budaya zaman jahiliyah, dimana seorang laki-laki dapat menikahi perempuan sebanyak mungkin. Pada waktu itu, posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ketergantungan perempuan sangat tinggi pada laki-laki. Ketika belum menikah anak perempuan tergantung pada ayahnya dan setelah menikah tergantung pada suaminya.
Kebolehan perkawinan poligami dikaitkan pula dengan masalah finansial. Karena perempuan tidak bisa memenuhi kebutuhan finansialnya, maka laki-laki boleh beristeri lebih dari satu. Hal ini secara eksplisit menunjukkan bahwa kehadiran perempuan merupakan beban finansial, karena perempuan dipandang hanya bisa bereproduksi tapi tidak produktif.