Lihat ke Halaman Asli

Mardety Mardinsyah

Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Perempuan dalam Tawanan Teologis, Inspirasi Mengenang RA Kartini

Diperbarui: 23 April 2021   18:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap tiba guliran waktu  21 April, kita terkenang ibu Kartini. Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional. Perempuan Indonesia  yang pertama kali diangkat menjadi pahlawan nasional (1964) oleh Presiden Sukarno.  "Ibu kita Kartini, Pendekar isteri, Pendekar kaumnya, untuk mulia". Itu sepenggal lirik lagu Ibu Kartini yang menunjukkan  jejak-jejak perjuangannya dalam  meningkatkan derajat kaum perempuan.

RA Kartini dalam usianya yang pendek, sempat menggores sejarah pemikiran tentang perempuan.  RA Kartini telah mewariskan pemikiran tentang  persamaan hak dan keadilan bagi  perempuan. Pemikirannya tentang perempuan ditulisnya dalam surat-suratnya kepada sahabatnya Stela  di negeri Belanda. Surat surat Kartini ini kemudian dibukukan oleh Armin Pane, pujangga Balai Pustaka. Buku itu diberi judul "Habis gelap terbitlah terang". Kartini, perempuan Indonesia yang lahir tahun 1879, merupakan writing woman, perempuan yang menulis, sehingga pemikirannya tentang nasib perempuan dan cita-citanya memajukan perempuan   dapat ditelusuri hingga kini.

Membaca ulang surat-surat Kartini, selain dapat dipahami situasi umum kehidupan sosial saat itu terutama  posisi perempuan dalam kehidupan sosial, juga dapat ditelusuri sisi religius  Kartini. Kartini menulis di sebuah  suratnya, "Aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tak  mengerti dan memahaminya ". Sejarah mencatat bahwa Kartini mempelajari  Al Quran secara komprehensi bahkan menerima kitab tafsir dan terjemahan al-Quran yang berjudul, Faid ar-Rahman dari pamannya Kiyai Sholeh Darat, kitab tafsir perdana di Nusantara, yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Bahkan Kalimat "Habis Gelap Terbitlah Cahaya (Door Duisternis tot Licht", diduga diperoleh Kartini setelah melalui kajian dalam Pengajian Faid ar-Rahman. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari al-Quran, Minazzulumati ila n-Nur (QS. Ibrahim [14] ayat 1)

Kartini mempelajari Alquran, tapi tidak ada tulisan  Kartini tentang perempuan dalam Alquran. Baru pada akhir abad 20, para tokoh  feminisme Islam  yang mendalami ilmu keislaman, terutama ilmu tafsir melakukan kajian terhadap ayat ayat dalam Alquran yang berkaitan dengan perempuan ( ayat ayat gender). Para tokoh ini menemukan bahwa  ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan atau ayat-ayat gender  telah ditafsirkan secara bias. Tafsir klasik  mengandung bias gender, sehingga perempuan terkurung dalam penjara teologis.

Di akhir abad 20, ketika timbul gerakan pembaharuan  Islam, kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang cukup ramai diperbincangkan. Kesetaraan gender adalah kondisi yang adil dalam relasi laki-laki dan perempuan untuk mendapat kesempatan sebagai manusia agar mampu berperan dalam kehidupan sosial. Ketidakadilan gender adalah ketidakadilan peran sosial antara perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan gender   merupakan salah satu  problem dalam kehidupan sosial.

Ketika para tokoh  feminis Islam   menganalisis tafsir ayat ayat gender dalam Alquran  dan menemukan bias gender dalam penafsiran klasik yang masih digunakan hingga kini, mereka menggugat tafsir klasik. Tafsir klasik  memberi pandangan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan dilarang menjadi pemimpin. Perempuan harus rela suaminya beristeri sampai empat orang. Dalam hukum keluarga, seperti hukum talaq dan hukum warisan perempuan diposisikan pada pihak yang dirugikan. 

 Tafsir bias gender telah dimodifikasi menjadi hukum (fiqih). Terdapat hukum yang bersifat diskriminatif  dan tidak adil terhadap perempuan. Dalam hukum yang diskriminatif dan tidak adil itu, perempuan  terbelenggu dalam dilemma : Taat pada hukum berarti pelestarian terhadap ketidakadilan, tapi meninggalkan hukum dapat dituduh murtad dan dikafirkan. Perempuan tertawan dalam penjara teologis. 

Para tokoh  feminisme Islam yang mendalami ilmu keislaman terutama ilmu tafsir Alquran,  seperti Amina Wadud, Musdah Mulia, Riffat Hassan, tidak saja menggugat bias gender dalam tafsir klasik tapi melakukan  penafsiran ayat-ayat gender dengan pendekatan kesetaraan dan keadilan gender. Muncul tafsir  yang berkeadilan gender untuk membebaskan perempuan dari penjara teologis.

Para tokoh tersebut di atas  memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender secara konsisten. Menyadari bahwa perempuan sampai saat ini masih   mengalami diskriminasi dalam skala yang cukup besar dan massif, para tokoh ini  mengusung ide kesetaran dan keadilan gender dalam tafsir Alquran.  Dalam persepsi para tokoh  ini, ketidakadilan disebabkan oleh  bias gender dalam penafsiran ayat-ayat terkait perempuan  dalam Alquran. 

Tafsir merupakan disiplin penting dalam ilmu keislaman yang sebagian besar umat Islam melihatnya sebagai hal  sakral. Maka itu, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Berangkat dari keyakinan bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh,  maka keadilan dan kesetaraan gender sesungguhnya harus terus disuarakan secara vokal.

  Seperti telah dikemukakan bahwa ketidakadilan gender   bersumber dari bias  gender dalam penafsiran. Tafsir bias gender telah dikodifikasi menjadi fiqih dan melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Tafsir ayat ayat  terkait perempuan  yang dipandang bias gender antara lain :

  • Ayat tentang kepemimpinan perempuan (Qs. Annisa /34)
  • Ayat tentang  poligami (Qs.Annisa /3)
  • Ayat tentang talaq         (Qs. Albaqarah/288)
  • Ayat tentang  warisan    (Qs. Annisa /11)
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline