Setiap tiba guliran waktu 21 April, kita terkenang ibu Kartini. Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional. Perempuan Indonesia yang pertama kali diangkat menjadi pahlawan nasional (1964) oleh Presiden Sukarno. "Ibu kita Kartini, Pendekar isteri, Pendekar kaumnya, untuk mulia". Itu sepenggal lirik lagu Ibu Kartini yang menunjukkan jejak-jejak perjuangannya dalam meningkatkan derajat kaum perempuan.
RA Kartini dalam usianya yang pendek, sempat menggores sejarah pemikiran tentang perempuan. RA Kartini telah mewariskan pemikiran tentang persamaan hak dan keadilan bagi perempuan. Pemikirannya tentang perempuan ditulisnya dalam surat-suratnya kepada sahabatnya Stela di negeri Belanda. Surat surat Kartini ini kemudian dibukukan oleh Armin Pane, pujangga Balai Pustaka. Buku itu diberi judul "Habis gelap terbitlah terang". Kartini, perempuan Indonesia yang lahir tahun 1879, merupakan writing woman, perempuan yang menulis, sehingga pemikirannya tentang nasib perempuan dan cita-citanya memajukan perempuan dapat ditelusuri hingga kini.
Membaca ulang surat-surat Kartini, selain dapat dipahami situasi umum kehidupan sosial saat itu terutama posisi perempuan dalam kehidupan sosial, juga dapat ditelusuri sisi religius Kartini. Kartini menulis di sebuah suratnya, "Aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tak mengerti dan memahaminya ". Sejarah mencatat bahwa Kartini mempelajari Al Quran secara komprehensi bahkan menerima kitab tafsir dan terjemahan al-Quran yang berjudul, Faid ar-Rahman dari pamannya Kiyai Sholeh Darat, kitab tafsir perdana di Nusantara, yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Bahkan Kalimat "Habis Gelap Terbitlah Cahaya (Door Duisternis tot Licht", diduga diperoleh Kartini setelah melalui kajian dalam Pengajian Faid ar-Rahman. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari al-Quran, Minazzulumati ila n-Nur (QS. Ibrahim [14] ayat 1)
Kartini mempelajari Alquran, tapi tidak ada tulisan Kartini tentang perempuan dalam Alquran. Baru pada akhir abad 20, para tokoh feminisme Islam yang mendalami ilmu keislaman, terutama ilmu tafsir melakukan kajian terhadap ayat ayat dalam Alquran yang berkaitan dengan perempuan ( ayat ayat gender). Para tokoh ini menemukan bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan atau ayat-ayat gender telah ditafsirkan secara bias. Tafsir klasik mengandung bias gender, sehingga perempuan terkurung dalam penjara teologis.
Di akhir abad 20, ketika timbul gerakan pembaharuan Islam, kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang cukup ramai diperbincangkan. Kesetaraan gender adalah kondisi yang adil dalam relasi laki-laki dan perempuan untuk mendapat kesempatan sebagai manusia agar mampu berperan dalam kehidupan sosial. Ketidakadilan gender adalah ketidakadilan peran sosial antara perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan salah satu problem dalam kehidupan sosial.
Ketika para tokoh feminis Islam menganalisis tafsir ayat ayat gender dalam Alquran dan menemukan bias gender dalam penafsiran klasik yang masih digunakan hingga kini, mereka menggugat tafsir klasik. Tafsir klasik memberi pandangan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan dilarang menjadi pemimpin. Perempuan harus rela suaminya beristeri sampai empat orang. Dalam hukum keluarga, seperti hukum talaq dan hukum warisan perempuan diposisikan pada pihak yang dirugikan.
Tafsir bias gender telah dimodifikasi menjadi hukum (fiqih). Terdapat hukum yang bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Dalam hukum yang diskriminatif dan tidak adil itu, perempuan terbelenggu dalam dilemma : Taat pada hukum berarti pelestarian terhadap ketidakadilan, tapi meninggalkan hukum dapat dituduh murtad dan dikafirkan. Perempuan tertawan dalam penjara teologis.
Para tokoh feminisme Islam yang mendalami ilmu keislaman terutama ilmu tafsir Alquran, seperti Amina Wadud, Musdah Mulia, Riffat Hassan, tidak saja menggugat bias gender dalam tafsir klasik tapi melakukan penafsiran ayat-ayat gender dengan pendekatan kesetaraan dan keadilan gender. Muncul tafsir yang berkeadilan gender untuk membebaskan perempuan dari penjara teologis.
Para tokoh tersebut di atas memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender secara konsisten. Menyadari bahwa perempuan sampai saat ini masih mengalami diskriminasi dalam skala yang cukup besar dan massif, para tokoh ini mengusung ide kesetaran dan keadilan gender dalam tafsir Alquran. Dalam persepsi para tokoh ini, ketidakadilan disebabkan oleh bias gender dalam penafsiran ayat-ayat terkait perempuan dalam Alquran.
Tafsir merupakan disiplin penting dalam ilmu keislaman yang sebagian besar umat Islam melihatnya sebagai hal sakral. Maka itu, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Berangkat dari keyakinan bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh, maka keadilan dan kesetaraan gender sesungguhnya harus terus disuarakan secara vokal.
Seperti telah dikemukakan bahwa ketidakadilan gender bersumber dari bias gender dalam penafsiran. Tafsir bias gender telah dikodifikasi menjadi fiqih dan melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Tafsir ayat ayat terkait perempuan yang dipandang bias gender antara lain :
- Ayat tentang kepemimpinan perempuan (Qs. Annisa /34)
- Ayat tentang poligami (Qs.Annisa /3)
- Ayat tentang talaq (Qs. Albaqarah/288)
- Ayat tentang warisan (Qs. Annisa /11)