Malam hening ....... Dalam gelisah corona, Sutiah bersimpuh di lantai. Mukena putih melekat ditubuhnya. Alam pikirnya mengembara menyusuri kelokan-kelokan kenangan yang berbeda. Sebuah telinga gaib terjaga untuk mendengar nyanyian derita. Dia merasa seolah-olah ada pusaran gaib dalam dirinya yang membuat tenang, bahagia dan indah.
Ketika pusaran gaib itu hilang , Sutiah ingin menangis, lalu dia berdoa. Dia bertekad untuk mendalami kembali ilmu agama, suluk dan tarikat yang pernah dulu dipelajarinya.
Di masa pandemi virus corona atau Covid-19, untuk mengurangi risiko penyebaran virus corona masyarakat harus tinggal di rumah sampai waktu yang belum ditentukan.
Para ahli mengatakan bahwa ketika orang merasa terputus dari dunia luar atau "tinggal di rumah saja", maka muncul Cabin fever,yaitu emosi atau perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama "terisolasi" di dalam rumah.
Gejala cabin fever tidak hanya sekadar merasa bosan saja. Tapi jauh lebih serius. Seperti : kegelisahan,turunnya motivasi,mudah tersinggung, putus asa, sulit berkonsentrasi, lemah, lesu, sedih, depresi, tidak sabaran dan sulit tidur ( Kompas.com).
Menjajaki masa karantina "dirumah saja", banyak cerita yang bisa diangkat. Tiap orang berbeda menanggapi situasi ini . Untuk mencegah cabin fever selama masa pandemi, ada yang beraktivitas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ada yang menyibukkan diri dengan beribadah, reading dan berkomunikasi di dunia maya.
Ada pula yang mengekspresikan sisi kreatif, seperti melukis, menulis memasak dan lainnya. Disamping itu, dalam gelisah corona ada pula orang menempuh jalan suluk seperti yang dilakukan Sutiah yang disebutkan di awal tulisan ini.
Melalui beberapa literatur, kita dapat sedikit memahami apa yang dimaksud dengan suluk. Menempuh jalan suluk berarti perjalanan mencari Allah, menata diri dengan syariat dan berakhlak baik. Dalam suluk dikenal tingkatan perjalanan, yang juga dikenal sebagai empat jenjang menuju Ad Diin (agama), yaitu: Syariat, Thariqat, Haqiqat dan Ma'rifat.
Ketika orang bertariqat atau menempa jiwa menuju Allah, itu artinya bersuluk. Orang yang secara fisik melakukan zikir ribuan kali atau melakukan perjalanan menuntut ilmu atau bermeditasi berjam-jam, itu belum dapat dikatakan bersuluk. Tidak semua orang yang shalat itu bersuluk, tidak semua yang zikir itu bersuluk dan tidak semua muslim itu bersuluk. Sebagian besar orang hanya mengerjakan tata syariat lahiriah.
Setelah menjalankan kaidah syariat, perjalanan diperluas dengan bertarikat. Tarikat berarti memasuki dunia pengalaman jiwa yang hidup, bukan sekedar teori. Dengan bertarikat, pencarian kepada Allah menjadi lebih fokus, terukur dan terbimbing. Setelah bertarikat kita lebih mengerti istilah-istilah kunci dalam Al Quran seperti : iman, qalb, hawa nafsu, syahwat, alam barzakh, kekafiran, kemusyrikan dan lainnya yang selama ini kita anggap sudah paham.
Untuk memulai perjalanan suluk, ilmu Tauhid merupakan pelajaran utama dengan tidak meninggalkan pengetahuan rukun iman dan rukun islam serta mengaplikasikannya secara lahir dan batin. Ada beberapa materi pelajaran suluk yang sangat penting yaitu, "man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu.". yang artinya adalah siapa yang mengenal Jiwanya (Nafs),-nya, maka akan mengenal Rabb-nya (Tuhannya).
Ilmu agama, suluk inilah yang pernah dipelajari Sutiah dulu. Kini dalam gelisah corona dia masuk kembali ke keheningan suluk.