Bumi Manusia" sebuah filem Indonesia layar lebar, diluncurkan 15 Agustus 2019. Filem ini berasal dari buku "Bumi Manusia" ( 1980) terbitan Hasta Mitra. Penulisnya Pramoedya Ananata Toer. Penulis asal Blora, Jawa Tengah ini menulis karyanya di Pulau Buru, Maluku dalam menjalani hukuman pembuangan tanpa pengadilan. Penulis menjadikan hukuman pembuangan dari Agustus 1969 hingga November 1979, sebagai momentum untuk terus berkarya. "Bumi Manusia ", sebuah Novel Sejarah, berlatar zaman pra kemerdekaan Indonesia yang memuat semangat anti-feodalisme dan anti-imperialisme salah satu dari empat karyanya di tanah pembuangan.
Membaca ulang buku di atas dan fokus pada hal yang menyangkut perempuan, terbaca bagaimana derita perempuan dalam penindasan budaya patriarki. Agaknya dapat kita katakan bahwa sejarah perempuan adalah sejarah penindasan. Dengan fokus pada tokoh-tokoh perempuan dalam buku itu kita mendapat informasi bahwa perempuan pribumi Indonesia punya andil dalam membangun semangat anti penjajah jauh sebelum munculnya kesadaran bangsa. Mari kita angkat hal-hal yang menyangkut perempuan yang termuat dalam buku ini, khususnya masalah penindasan dan kejahatan seksual terhadap perempuan.
"Bumi Manusia" merupakan kisah percintaan dua anak muda Minke dan Annelies di atas pentas pergelutan tanah kolonial awal abad 20. Minke pemuda pribumi, satu-satunya pribumi dizaman itu yang diperbolehkan masuk sekolah Belanda, HBS. Akses ini diperoleh Minke karena dia pintar menulis. Dia penulis bagi surat Kabar Belanda yang terbit masa itu. Pemikirannya yang revolusioner, menyadarkan rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan mendapat perhatian masyarakat.
Sementara Annelies, gadis Indo Belanda anak seorang Nyai. Nyai atau gundik adalah isteri simpanan seorang laki-laki. Posisi Nyai atau gundik pada masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan. Nyai Ontosoroh ibu yang melahirkan Annelis adalah isteri simpanan bule bernama Herman Mellema.
Nyai Ontosoroh seorang perempan yang unik. Di satu sisi, ia dipandang rendah oleh bangsanya sendiri karena jadi gundik orang bule. Namun, Cara berpikir dan kepiawaiannya memimpin perusahaan, membuat perempuan ini setara dengan perempuan terpelajar masa kini. Seperti Minke, Nyai juga berpikiran revolusioner dan menyadari bahwa bangsanya dipandang rendah oleh penjajah. Hebatnya lagi, ia mengizinkan seorang pribumi menjalin cinta dan menikah dengan putrinya yang Indo. Hal ini pada masa itu tidak lazim.
Sebagai isteri simpanan, pernikahan Sang Nyai dan Herman Mellema, secara hukum dianggap tidak ada. Ketika Mellema meninggal dunia, pengadilan memutuskan, seluruh harta benda bahkan Annelies harus dikembalikan ke istri sah Tuan Mellema yang ada di Belanda. Nyai dan Minke melawan kekejaman ini. Dukungan mengalir dari kaum pribumi dan bangsa Eropa yang masih punya hati. Segala argumen dikemukakan. Perlawanan dilakukan lewat kata-kata dan tulisan. Namun, mereka kalah.
Sejarah Perempuan Sejarah Penindasan
Entah apa salah perempuan, sejak kecil sudah menjadi tahanan rumah dan diperlakukan secara tidak adil.
"Umur 13 tahun aku sudah dipingit dan hanya tahu dapur,ruang belakang dan kamarku sendiri", cerita Nyai Ontosoroh pada anaknya Annalies.
Lebih lanjut Nyai Ontosoroh menceritakan bagaimana dirinya dijual oleh ayahnya sendiri, juru tulis Sastrotomo, sehingga dirinya menjadi seorang Nyai atau gundik atau isteri simpanan.
"Sejak saat itu hilanglah sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku", kata Nyai Ontosoroh.