Menulis tentang sosok ibu di tengah situasi pandemi ini adalah hal yang cukup berat, mengingat begitu banyak orang yang tiba-tiba kehilangan orangtua, tidak dapat berkumpul karena diisolasi, sehingga sulit merawat dan membalas cinta mereka seperti yang selalu mereka berikan untuk kita dulu.
Banyak memori indah atau sekedar ketemu dan berkumpul tidak tercapai.
Rindu untuk mencicipi masakan ibupun, tak bisa dilakukan sebab selain beda wilayah, rasa khawatir sebagai pembawa virus jika pulang membayangi, mengingat usia mereka yang tidak lagi muda.
Ibu saya adalah seorang guru, yang menamatkan SMA pendidikan guru pada zamannya (saya lupa nomenklaturnya), dan baru menyelesaikan sarjana pendidikannya beberapa tahun silam.
Rasa rindu kepadanya hanya bisa diluapkan lewat video call atau telepon.
Kebetulan dalam hal menyanyi, ibu jagonya. Ibu, sekolah pertamaku, darinya banyak hal yang saya pelajari, bukan hanya bernyanyi, tapi hal tentang kehidupan, yang nilai-nilainya dapat dijumpai dalam tulisan ini.
Kesibukannya sebelum tidur, kami sering diinabobokan dengan lagu sio mama, yang menyentuh itu. Pembawaan ibu yang riang, cekatan dan penuh tawa seolah memberi kepastian bagi kami bahwa jangan khawatir dengan hari esok.
Tahun 2009 menjadi tahun terberat baginya, karena tahun itu kami semua kehilangan sosok oma, Ibunya. Kehilangan itu membuatnya terpukul sebab sosok penyayang dan penuh pengertian itu telah pergi.
Sosok yang menjadi sandarannya saat mengalami tekanan hidup, sosok yang menguatkan saat mengalami permasalahan dalam kehidupan, dan sosok yang menjadi tempat ternyaman untuk dipeluk sudah tidak bersamanya lagi.