Sejak era kolonial hingga berdirinya Kabupaten Dairi tahun 1964, dan sebelum jatuhnya orde baru tahun 1998. Etnik Pakpak mengalami marginalisasi atau deprivasi bidang politik, ekonomi dan sosiokultural maupun ekskusi agama.
Bagaimanapun juga deprivasi, marginalisasi dan ekskusi berlangsung lama, memicu munculnya keprihatinan pada etnik Pakpak pada waktu itu. Deprivasi, marginalisasi dan ekskusi ini lah yang menggiring adanya diskusi berkelanjutan ditengah-tengah masyarakat Pakpak.
Walaupun awal-awalnya dilakukan secara sporadis tidak terstruktur (intelektual etnik Pakpak). Namun, secara perlahan melanjut ke kolaborasi/konsolidasi intelektual Pakpak dan organisasi internal etnik Pakpak, konsolidasi lintas etnik dan lintas agama serta konsolidasi multi lintas (intelektual Pakpak, organisasi etnik Pakpak, lintas teritorial, lintas agama dan lintas partai) konsolidasi seperti ini diharapkan mampu mengarahkan warga etnik Pakpak pada pencapaian kepentingannya.
Namun, pada waktu perjuangan maupun kolaborasi/konsolidasi diskusi internal jarang dilakukan, karena keterbatasan sumberdaya etnik Pakpak. Hingga perjuangan pada tahap ini berujung pada kegagalan. Dukungan dari pihak penguasa lokal maupun dukungan dari warga etnik Pakpak, lintas agama, lintas teritorial, dan lintas partai belum sepenuhnya menyatukan persepsi untuk menggalang persatuan akibat jarangnya konsolidasi tadi.
Terpilihnya MP. Tumanggor sebagai bupati Dairi tahun 1999, mengahiri ketidakpastian politik yang membuat gusar hati orang-orang Pakpak. MP. Tumanggor menjadi tumpuan harapan orang Pakpak untuk meneruskan pendahulunya sebagai patron politik, yang melindungi kepentingan kelompok etnis Pakpak.
Dilantiknya MP. Tumanggor jadi bupati Dairi nampaknya memang membawa rezeky, keleluasaan bupati pun semakin dipermudah untuk membangun daerah sejak terbitnya Undang-undang NO. 22 tahun 1998 tentang pemerintah daerah yang memberi peluang lebih besar kepada masyarakat etnik untuk mengajukan pendapat, usul-usul tentang pemekaran maupun penggabungan daetah. Benar saja, pada awal masa pemerintahannya daerah Simsim mendapat perhatian khusus. Diskusi keprihatinan etnik Pakpak pun semakin gencar dilakukan.
Pada awal-awal diskusi dilakukan, wacana yang berkembang di masyarakat menyangkut dua hal, pertama adanya ide dan wacana memekarkan kabupaten Dairi, dan kedua adanya ide dan wacana mengganti nama kabupaten Dairi, menjadi kabupaten Pakpak.
Namu, wacana yang kedua setelah dilakukan diskusi mengingatkan memori lama, karna pada masa pemerintahan kabupaten Tapanuli ide itu tidak berhasil di lakukan karn tidak di akomodir pemerintahan pada saat itu.
Selain itu, disela-sela pembahasan kedua wacana di atas, muncul juga wacana untuk melebur seluruh wilayah tanah Pakpak (Suak) Boang, Kelasen, Pegagan, Kepas, dan Simsim. Yang kemudian kelima Suak tersebut dibentuk menjadi kabupaten-kabupaten dan akhirnya akan di buat menjadi satu provinsi yang disebut dengan provinsi Pakpak Raya.
Namun, bupati MP. Tumanggor pada saat itu cenderung lebih mengakomodir pemekaran kabupaten Dairi menjadi menjadi kabupaten Pakpak Bharat. Pada saat itu, bupati memberikan sinyal persetujuan pada pembentukan kabupaten baru di wilayah Suak Simsim. Sementara, rencana pembahasan provinsi Pakpak Raya adalah cita-cita pada jangka panjang , karnanmasih perlu banyak waktu yang harus di butuhkan untuk mengkaji itu.
Ide dan wacana pemekaran pun semakin bergemuruh pada Kongres Rakyat Simsim tanggal 22 Juni 2002 di Sukarame. Kegiatan ini di inisiasi oleh lembaga Konsultasi Perencanaan Pembangunan (LKPP-Indonesia) yang dipimpin oleh Muda Banurea. Selain itu, dikalangan birokrat kantor bupati juga dibentuk arisan Keluarga Pakpak yang diketuai oleh Hotman Capah.