Mendengar kata Bajak Laut somalia, yang terlintas tentu adalah sekelompok orang yang menggunakan penutup wajah yang bersenjatakan golok tajam nan panjang yang siap melukai siapa saja yang menghalangi niatannya. Gambaran pembaca itu sebagian tepat adanya, hanya saja belum bisa memberikan secara utuh gambaran betapa dahsyat dan menyeramkannya mereka. Melalui tulisan saya kali ini, penulis ingin mengajak pembaca memahami betapa penuh resikonya kehidupan para pelaut Indonesia yang kapalnya memiliki rute pelayaran yang melintasi perairan di somalia dan sekitarnya. Somalia adalah sebuah negara di benua Afrika yang wilayahnya berhadapan dengan Asia (dekat dengan wilayah teluk). Negeri ini sedang dalam kondisi perang dimana di dalamnya terjadi banyak pemberontakan terhadap pemerintahan resmi. Hal inilah yang memicu banyaknya aksi bajak laut disini, selain tentu saja karena faktor ekonomi. Saat ini ditengarai bajak-bajak laut ini dikendalikan oleh para cukong yang berasal dari Somalia yang tinggal di daerah Arab. Somalia ini mendapatkan perhatian khusus dari International Maritime Organizartion (IMO) karena aksi prompakan (bajak laut) di wilayah perairan ini adalah yang terbanyak di dunia selama beberapa tahun ini. Hal ini memaksa banyak negara maju mengirimkan Armada perangnya (dalam bentuk kapal laut) ke wilayah perairan Somalia untuk meredam aksi ini. Tetapi bukannya teredam, aksi yang dilakukan oleh Bajak Laut ini malah semakin berani dan cakupan wilayah-nya pun terus bertambah luas. Bayangkan sampai negara Jepang mengirimkan satu kapal perangnya ke wilayah ini, untuk tugas ini pemerintah Jepang sampai harus merevisi undang-undangnya yang memang sebelumnya melarang mereka untuk aktif dalam segala bentuk pertempuran. Bajak laut Somalia saat ini tercatat sebagai bajak laut yang teraktif dan terganas di seluruh dunia oleh IMO. Hampir setiap hari tercatat paling minim dua kejadian yang berhubungan dengan pembajakan yang terjadi di wilayah perairan Somalia. Bajak laut-bajak laut ini dipersenjatai oleh berbagai jenis senjata modern yang mematikan. Mereka tidak hanya menggunakan golok panjang nan tajam yang selalu menjadi ciri khas bajak laut. Tetapi mereka juga menggunakan berbagai jenis senjata api, seperti AK47, FN, dll. Mereka juga menggunakan Rocket Propelled Grenade (RPG), bayangkan Silverster Stallone yang beraksi dengan RPGnya dalam serial Rambo yang terkenal itu. Mereka juga menggunakan perahu Cadik yang lumayan besar yang digunakan untuk memantau posisi kapal-kapal niaga yang akan mereka bajak. Setelah melihat targetnya, mereka akan menurunkan speed boat yang siap meluncur dengan kecepatan dua hingga tiga kali kecepatan kapal Niaga. Bisa dibandingkan dengan bajak laut Indonesia yang ber-tehnologi murahan dan masih mudah dilawan. Hal-hal tersebutlah yang membuat mengapa di perairan Somalia saat ini marak akan aksi ini. Saat ini International Transport Worker's Federation-pun (ITF) menetapkan kebijakan bahwa wilayah ini termasuk ke dalam war-risk zone, karenanya pekerja maritim diharapkan menjalankan kapalnya sejauh mungkin dari perairan ini (kalau bisa paling minim 400 kilometer dari pantai Somalia). Kalaupun terpaksa harus melaluinya, maka uang gaji dan uang pertanggungan kecelakaan kerja-nya harus di naikkan dua kali lipat dari yang tertulis di kontrak. Masalahnya sekarang yang muncul adalah, apakah semua perusahaan Indonesia menjalaninya? Kenyataannya hampir semua perusahaan pelayaran di Indonesia tidak menjalaninya. Inilah yang menjadi dilema pelaut Indonesia dalam kaitannya dengan hal ini. Kebanyakan pelaut-pelaut kita bekerja tanpa adanya kontrak kerja yang jelas bahkan sebagian tanpa kontrak kerja sama sekali, yang tentunya akan merugikan mereka apabila suatu saat mengalami kecelakaan kerja. Saya ambil contoh seperti ini: Suatu saat ada seorang teman penulis (bukan pelaut) yang bertanya kepada penulis mengenai apa hak yang bisa dituntut oleh keluarga (red. Isteri dan anak) apabila Sang ayah meninggal ketika sedang berlayar. Saat itu saya menanyakan kejadiannya bagaimana dan apakah ada kontrak kerja dari perusahaan? Teman saya menjawab, kejadiannya pada waktu ayahnya berlayar di daerah Laut China Selatan, kapalnya bertemu dengan typhoon (baca juga tulisan saya di: http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/12/badai-tropis/ ). Pada saat itu Nakhoda kapal memerintahkannya untuk memeriksa ruangan yang ada di depan kapal apakah sudah dalam kondisi tertutup atau tidak? Maka Ayah teman saya pergi ke depan dan memeriksanya, pada saat itulah ia terhempas oleh ombak dan hilang di Laut China Selatan. Saat itu saya menjelaskan bahwa apa yang dilakukan ayahnya walaupun salah tetapi masih dibenarkan, karena ada yang menyuruhnya yaitu Nakhoda kapal. Saya juga menyuruhnya untuk menanyakan masalah kontrak kerja ini ke perusahaan tempat ayahnya bekerja. Setelah itu ia datang lagi kepada saya ia menjelaskan bahwa ia tidak menemukan kontrak kerja seperti yang saya jelaskan. Ia juga bertanya apakah uang santunan sebesar 125 juta itu pantas untuk dia? Saya jelaskan kepadanya, apabila ayahnya memiliki Kontrak Kerja seperti yang pernah saya jelaskan, maka nilai minimal yang harusnya dia terima adalah 450 juta rupiah, bukannya 125 juta rupiah. Dari uraian tulisan saya diatas saya ingin memberikan gambaran beberapa dilema yang kerap dialami oleh pelaut Indonesia yang sampai kini masih menghantui: 1. Betapa keselamatan pelaut sering tidak dihargai oleh atasannya, terutama apabila bekerja dengan atasan yang berasal dari negara lain. Bagaimana tidak, menurut aturan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) : yang kurang lebih isinya melarang pelaut untuk bekerja meninggalkan ruang akomodasi apabila keadaan cuaca tidak memungkinkan. Kenapa sampai ayah teman saya melakukannya, padahal sudah ada peraturan yang mengikat? Ketakutan akan kehilangan sumber penghasilan-lah alasan yang utama. Pelanggaran ini terutama terjadi di kapal-kapal yang memiliki nakhoda dari negara lain ataupun di kapal-kapal penangkap ikan. 2. Betapa perusahaan-perusahaan pelayaran di Indonesia masih belum menjalankan kewajibannya dalam memberikan kesejahteraan dan jaminan masa depan yang sesuai bagi keluarga pelaut. Kontrak kerja merupakan sesuatu yang mutlak ditandatangani oleh pelaut dan dimiliki oleh setiap pelaut ketika mereka bekerja diatas kapal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H