Kasus pelecehan seksual di lingkungan akademis memang telah menjadi perhatian di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Salah satu kasus yang mencuat adalah yang melibatkan seorang profesor di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2018. Kasus ini melibatkan seorang mahasiswa yang melaporkan telah menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang dosen selama kegiatan lapangan. Laporan tersebut kemudian mengungkap berbagai kasus pelecehan lain yang dialami oleh mahasiswa di lingkungan universitas, yang sebelumnya tidak diangkat ke permukaan karena berbagai alasan, termasuk ketakutan akan dampak buruk bagi karier akademis dan pribadi mereka.
Kasus ini menyoroti masalah sistemik dalam menangani pelecehan seksual di lingkungan akademis. Meski UGM telah memiliki kebijakan tentang pelecehan seksual, penanganannya dinilai lambat dan kurang responsif. Mahasiswa korban pelecehan harus menunggu berbulan-bulan sebelum kasusnya mendapat perhatian serius dari pihak universitas, dan bahkan setelah itu, proses penanganan masih dipenuhi dengan tantangan dan hambatan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan ada, pelaksanaannya bisa sangat bervariasi dan tidak selalu melindungi korban dengan efektif.
Selain itu, kasus ini juga memperlihatkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara dosen dan mahasiswa, yang sering kali menjadi akar masalah dalam kasus pelecehan di kampus. Mahasiswa sering kali merasa berada di posisi yang lemah dan takut melaporkan pelecehan karena khawatir akan konsekuensi negatif, seperti penilaian akademik yang buruk atau bahkan ancaman terhadap kelanjutan studi mereka. Ketidakseimbangan ini menegaskan perlunya reformasi dalam struktur dan budaya di lingkungan akademis untuk memastikan bahwa semua individu merasa aman dan didukung untuk berbicara ketika menghadapi perlakuan yang tidak pantas.
Dukungan bagi korban juga menjadi isu yang krusial dalam kasus ini. Banyak mahasiswa yang merasa tidak mendapatkan dukungan yang memadai setelah melaporkan kasus pelecehan, baik dari sisi psikologis maupun hukum. Kurangnya pendampingan dan dukungan ini dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban dan mengurangi kepercayaan mereka terhadap sistem. Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan untuk tidak hanya memiliki mekanisme pelaporan yang jelas, tetapi juga menyediakan layanan dukungan yang holistik bagi para korban, termasuk konseling dan bantuan hukum.
Kasus ini menjadi momentum penting bagi universitas dan juga lembaga pendidikan lainnya untuk mengevaluasi kembali kebijakan mereka terkait pelecehan seksual. Ini juga menjadi panggilan untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi staf dan mahasiswa tentang kesadaran dan pencegahan pelecehan seksual. Dengan demikian, diharapkan lingkungan akademis dapat benar-benar menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua individu, bebas dari rasa takut akan pelecehan atau diskriminasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H