Lihat ke Halaman Asli

Hari Raya Imlek sebagai Simbol Toleransi Belum Terwujud

Diperbarui: 1 Februari 2022   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: pexels.com

Indonesia sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada sila ketiga. Negara ini telah memiliki pondasi kuat untuk membangun sebuah peradaban yang memegang teguh toleransi suku, agama, ras, dan adat. 

Kini, Indonesia mengakui adanya 6 agama: Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghuchu, dan Islam. Pengakuan 6 agama ini tidak berlangsung dengan mulus, khususnya agama Konghuchu yang sempat dilarang untuk terbuka di depan publik pada masa pemerintahan Soeharto melalui Inpres 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. 

Bukan hanya agama Konghuchu, tetapi tradisi dan budaya tionghoa seperti lagu serta sastra mandarin juga dilarang untuk disebar melalui media massa seperti radio, televisi, dan semacamnya, berikut pula awal mula istilah pribumi dan non-pribumi. 

Hal ini dilakukan Soeharto sebagai efek domino dari pelarangan partai dan ajaran komunis yang dianggap berkaitan dengan etnis Tionghoa, bahkan Indonesia juga memutus hubungan diplomatik dengan negara Cina kala itu.

Pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia pada masa Soeharto tidak hanya membatasi kebebasan berekspresi tetapi juga mengintimidasi etnis Tionghoa di Indonesia karena mayoritas masyarakat telah berpandangan negatif (kepada etnis Tionghoa) sebagai efek dari terbitnya Inpres 14/1967 dan pelarangan komunisme. 

Sentimen negatif ini masih lekat di era Reformasi meski sudah dilakukan berbagai upaya restorasi toleransi yang dimulai dengan penerbitan Inpres 26/1998 oleh Presiden Habibie untuk mencabut beberapa peraturan diskriminatif termasuk salah satunya berisi tentang dihentikannya penggunaan kata pribumi-non pribumi, lalu Inpres 6/2000 oleh Presiden Gus Dur yang mencabut Inpres 14/1967 sehingga budaya Tionghoa dan perayaan agama Konghuchu dapat kembali dilakukan secara terbuka di publik, kemudian terakhir Keppres 19/2002 oleh Presiden Megawati yang menyatakan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Namun sangat disayangkan, upaya restorasi toleransi yang dilakukan oleh 3 presiden tersebut belum banyak menghilangkan sentimen negatif terkait etnis Tionghoa di tengah masyarakat.

Siapa yang pernah ngata-ngatain orang ber-etnis Tionghoa matanya gabisa lebar? Jika pernah, maka sebetulnya kalian sudah bertindak rasis, segera minta maaf ya! Namun, itu masih salah satu dari stereotip (dalam hal ini terkait fisik) yang terdapat dalam masyarakat. Bagaimana dengan stereotip terkait ekonomi, struktur sosial, dan politik? 

Dalam dunia ekonomi atau perdagangan, orang -- orang Tionghoa seringkali dianggap sebagai 'raja'-nya. Dianggap sebagai raja perdagangan bisa memberikan arti positif dan buruk, masalahnya arti buruk terhadap raja perdagangan ini cukup ekstrem. 

Ambil contoh kejadian 1998, dimana pada krisis moneter masa itu, etnis Tionghoa dianggap sebagai salah satu penyebabnya, bahwa mereka dianggap mencuri dan merampas uang negara/rakyat. Akibat dari stereotip itu pada 1998, sangat lah mengenaskan dan dapat dibaca dalam setiap buku sejarah. 

Di masa sekarang, ketika masa pandemi berdampak perekonomian masyarakat yang tidak stabil dan utang negara yang kian naik (meskipun masih dalam batas aman sesuai UU), orang -- orang Tionghoa kembali dihujat dan dipermasalahkan dalam aksi demonstrasi serta media sosial dengan sebutan 'Aseng'. 

Tetapi, jika ingin mengetahui sentiment positif, mari melihat hari raya Imlek, karena pada perayaan selama berhari -- hari ini, konsumsi dan belanja masyarakat meningkat sehingga menguntungkan banyak kalangan masyarakat, khususnya pengusaha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline