[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Demi Jokowi, Metro TV Perkuat "][/caption] Kompetisi politik untuk mengganti pemimpin adalah hal yang biasa dalam sebuah sistem demokrasi. Itu hanya sebuah cara atau metode dalam berdemokrasi. Menghasilkan pemimpin yang berintegritas, dan kompeten menyelesaikan persoalan ialah visi besarnya. Tak jarang, kepentingan pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam pemilihan tersebut juga ikut meramaikan kompetisi tersebut. Kompetisi pun semakin menarik. Usai terpilih, pemimpin yang dihasilkan dari kompetisi tersebut diperhadapkan dengan banyak model, cara dan subjek dengan berbagai keinginannya. Fakta membuktikan, arogansi pihak lain yang ikut meramaikan kompetisi politik akan berlanjut meski kompetisinya telah selesai. Kesempatan mendikte pun dijalankan. Mengatasnamakan andil saat kompetisi, pihak- pihak ini terus memperkuat cara untuk mengarahkan pemimpin terpilih untuk mengikuti jalan pemikiran mereka. Dikte pemimpin sedikit membahayakan ketika sudah melewati batas- batas tertentu. Termasuk batas kemampuan sang pemimpin. Kepentingan pendikte pun akan semakin kuat manakala para pemimpin terus mendudukan pemikiran para pendikte sebagai referensi utama. Hasilnya, pemimpin tersebut tidak lagi menjadi pemimpin yang mendengar saran dari bawahanya; mengabaikan kepentingan apa dan siapa yang dipimpin. Situasi ini acapkali membawa petaka bagi kerja- kerja sang pemimpin. Dia akan menjadi sulit untuk mengelola situasi tim yang dipimpinya. Para pendikte lantas menjadi pihak yang paling bersuka cita. Kebutuhan dan harapan tim kerja internal diabaikan dan terus dirasuki dengan kepentingan para pendikte. Gejolak tim kerja yang dibentuk pemimpin itu pun amburadul, tidak terkontrol dan sulit dikendalikan. Benturan demi benturan semakin mengemuka. Ini terjadi jika pemimpin yang terpilih tadi tidak memiliki kemampuan leadership yang kokoh. Apalagi jika tim kerjanya ialah kumpulan orang- orang opportunis, safety player, dan hanya mencari untung bagi diri sendiri. Loyalitas menjadi kamuflase untuk mendapatkan apa yang dicari; citra, popularitas, dan kekuasaan. Tanggung jawab yang ditunjukkan ialah tanggung jawab semu, hanya demi kepuasan sang pemimpin. Orang- orang ini patut ditempatkan pula menjadi sumber petaka bagi kepemimpinan sang pemimpin. Prinsip doing what for getting what pun diidealkan, yang penting pemimpinnya senang. Kontras dengan situasi ini, masih banyak pihak yang ngotot untuk mengoreksi pemimpinnya meski mereka juga bagian dari tim kerja pemimpinnya. Namun sayang, sudah menjadi tradisi pemimpin di Indonesia, orang- orang ini hanya dianggap anasir mundur bagi pemimpinnya. Mereka tidak lagi dianggap penting untuk didengar. Kerja dan kreativitas mereka pun dibatasi, ruang ekspresi mereka dikunci rapat-rapat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H